Bisnis.com, JAKARTA - Dimas Rahmat Saputra asyik memainkan mobil polisi mainan di depan saya siang itu. Dia bersandar manja ke ibunya, Kasmaboti. Usianya baru 4 tahun dan masih memakai baju tidur. Saya menyodorkan kaki kanan saya untuk mengajaknya bermain. Dia menepak dengan kakinya yang mungil. Setelah bosan bermain dengan mobil-mobilan, dia meraih telepon selular ibunya, mencari keasyikan baru. Tentunya, masih bersandar di pangkuan Kasmaboti. Siang itu, 24 Desember.
Saya menemui keduanya di teras Ruang Pengaduan Asmara Nababan milik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga itu terletak di kawasan Latuharhary, Jakarta Pusat. Kasmaboti dan Dimas, tidur dan makan seadanya, sejak 10 Desember. Mereka adalah warga Suku Anak Dalam, Jambi, yang tergusur akibat konflik lahan dengan perusahaan sawit. Ada puluhan warga lainnya di teras itu. Kebanyakan mereka beralaskan karpet dan berselimut sarung saat tidur. Ada bantal kecil. Galon air mineral. Ransel yang berserakan. Kabel listrik dan pengeras suara. Mereka juga mendirikan dapur umum. Semuanya campur-aduk.
"Anak ini melihat penggusuran," kata Kasmaboti kepada saya. "Tak ada yang tersisa dari rumah kami, bahkan satu sendok pun tak dapat."
Kasmaboti tinggal di Desa Pinang Tinggi, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi. Umurnya 43 tahun. Penggusuran yang dimaksud terjadi pada 7 -12 Desember oleh pihak keamanan perusahaan sawit, PT Asiatic Persada. Suaminya, Iskandar, adalah petani. Mereka juga beternak 60 ekor ayam. Namun saat penggusuran, semua peliharaan ditembak dan dijarah. Selain pihak keamanan perusahaan, penggusuran itu pun diduga dilakukan oleh Brigade Mobil (Brimob) Polda Jambi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kasmaboti digusur pada hari pertama.
"Sepedaku tak ada lagi," kata Dimas, ketika ibunya mulai bercerita
soal penggusuran itu. " Sudah tak ada lagi."
"Ayam ke mana?" kata Kasmaboti.
"Ditembaki."
"Burung?"
"Mati."
"Semuanya benar-benar habis."
Keduanya kemudian mengungsi bersama sekitar 100 lebih petani—yang kini tersisa sekitar 70-an orang karena ada yang kembali—lainnya ke Jakarta. Mereka menginap di bagian belakang area Komnas HAM untuk akhirnya melaporkan masalah itu ke Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Laporan ke polisi, tentu terkait dengan masalah dugaan tindakan kekerasan terhadap warga Suku Anak Dalam. Sedangkan BPN, didesak untuk menggelar perkara atas kasus konflik agraria tersebut. Sebagian petani lainnya juga berdemonstrasi ke kantor Gubernur Jambi.
Perusahaan yang terlibat, PT Asiatic Persada, mulanya dimiliki oleh Wilmar International sejak 2006. Namun sejak awal tahun ini dimiliki oleh PT Agro Mandiri Semesta (AMS) di bawah kendali Grup Ganda. Kelompok bisnis itu dimiliki oleh Ganda Sitorus, saudara kandung Martua Sitorus, salah satu pemilik Wilmar International. PT AMS punya lahan sekitar 250.000 hektare yang berlokasi di Sumatra Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat dan Marauke, Papua. Dalam jawaban resminya ke the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada Mei lalu, Grup Ganda menyatakan komitmennya untuk melanjutkan proses mediasi dengan Suku Anak Dalam. Proses itu sebelumnya telah ditempuh Wilmar International melalui asosiasi tersebut. Tapi, hasilnya nihil. Konflik agraria itu sendiri bermula sejak 1980-an, dengan berganti-ganti pemilik perusahaan.
Di sisi lain, mediasi melalui Komnas HAM pada Juli 2012 menyatakan semua pihak yang terlibat setuju adanya pengukuran terhadap lahan seluas 3.550 hektare. Inilah lahan yang diminta untuk dikeluarkan dari konsesi PT Asiatic Persada. Gubernur Jambi pun telah menginstruksikan agar perusahaan mematuhi kesepakatan tersebut. Namun jawabannya: penghancuran pondok-pondok sekaligus kehidupan Suku Anak Dalam selama hampir seminggu lamanya.
Data Sawit Watch akhir tahun ini menyatakan pemerintah terus memperluas sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit dalam puluhan tahun terakhir. Hingga kini, terdapat sekitar 15,33 juta hektare areal yang tersebar pada sedikitnya delapan provinsi. Jambi menyumbang lahan sekitar 819.000 ha, sedangkan yang terluas adalah Kalimantan Barat yakni 4,96 juta hektare. Masalahnya, perkebunan sawit akan terus digenjot produksinya di masa mendatang. Kebutuhan lahan pun diperkirakan semakin menebal.
"Masalah ke depan adalah penyempitan ruang kehidupan masyarakat," kata Bondan Andriyanu, dari Sawit Watch. "Konflik sosial terjadi pada level masyarakat adat, petani dan buruh perkebunan."
Perusahaan kelapa sawit, demikian organisasi itu, juga berkonflik dengan sekitar 396 komunitas masyarakat adat yang tersebar pada delapan provinsi tersebut. Suku Anak Dalam, macam Kasmaboti dan suaminya, adalah salah satunya. Delapan wilayah itu adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jambi, Riau. Lainnya adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Masalah terbesar: tumpang-tindih lahan.
Data lainnya diungkap oleh riset Rights and Resources Initiative (RRI) yang berjudul Global Capital, Local Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies. Data yang dirilis pada September tersebut memaparkan tumpang-tindih lahan adat dengan perkebunan kelapa sawit khusus di Kalimantan saja mencapai sekitar 56.102 hektare. Riset itu berbasiskan pada Global Forest Watch dengan peta adat dari Badan Registrasi Wilayah Adat. Dalam laporan tersebut, diperkirakan 15 dari 16 tanah leluhur di Borneo bertubrukan dengan konsesi perkebunan sawit. Ini belum ditambah dengan apa yang terjadi di pulau Sumatra, macam yang terjadi pada Suku Anak Dalam.
"Bagi warga yang tak mau keluar rumah, diancam dibunuh." kata Eko Purwanto, salah satu korban tindak kekerasan dalam penggusuran tersebut. "Salah seorang memukul saya dengan botol bir yang biasa digunakan untuk lampu teplok."
"Saya menangkis dengan tangan kiri. Dua orang kemudian memegang saya. Mereka mulai memukuli."
"Tembakan di arahkan ke atas, sehingga perempuan dan anak kecil menjerit dan menangis. Semua ketakutan."
Eko adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Jambi. Berperawakan tegap dan berkulit sawo matang. Saya mengenalnya pada Februari lalu dalam satu liputan konflik serupa di Jambi. Saya masih ingat, kami makan di warung yang cukup ramai di pinggir jalan bersama anaknya yang berusia 9 tahun: Kevin Padma Negara. Kini kedua orang itu berpisah sementara. Eko berada di Jakarta untuk mengadvokasi para petani. Istri dan anaknya di Jambi. Eko juga memperlihatkan salah satu bukti penting dari penggusuran itu: proyektil peluru.
"Hampir semua bangunan warga sudah diratakan dengan tanah," kata
Eko kepada saya. "Ibu-ibu yang mempertahankan harta benda diseret-seret."
Pelbagai foto penggusuran pun diunggah Eko melalui Facebook. Ember. Guling. Kasur. Kompor. Termos. Semuanya berserakan di halaman. Pondok? Jangan ditanya. Ada yang dirobohkan dengan alat berat hingga yang hancur sebagian atap dan dinding kayunya. Kebanyakan peralatan dan bahan makanan mereka dijarah habis-habisan. Termasuk, ternak dan binatang peliharaan.
Komnas HAM pun mengirimi surat ke Kepolisian Resor Batanghari dan Komandan Kodim 0415 Batanghari. Lembaga itu menilai penggusuran itu memperlambat proses penyelesaian konflik agraria antara Suku Anak Dalam dan PT Asiatic Persada. Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi juga meminta BPN meninjau ulang Hak Guna Usaha perusahaan tersebut.
"Kami meminta saudara untuk meninjau ulang Hak Guna Usaha atas nama PT Asiatic Persada, guna tercapainya penyelesaian masalah suku Anak Dalam," demikian Dianto dalam surat resminya pada 16 Desember lalu.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) selama 3 tahun berturut-turut, sektor bisnis utama penyebab konflik agraria adalah perkebunan. Pada tahun ini telah mencapai 180 konflik. Lainnya, sektor infrastruktur dengan 105 konflik, sektor pertambangan 38 konflik, sektor kehutanan 31 konflik , dan sektor pesisir sebanyak 9 konflik. Luas konflik yang diperebutkan mencapai sekitar 1,28 juta hektare atau meningkat dibandingkan dengan 2012 yakni 963 hektare.
Saya melihat wajah-wajah serupa yang pernah saya temui hampir setahun lalu pada hari itu. Baik di Jambi maupun di Jakarta. Abbas Ubuk. Kutar. Sugiono. Masalah lahan Suku Anak Dalam seakan tak kunjung rampung. Bahkan, cenderung memburuk. Saya melihat si kecil Dimas berlarian di antara teman-temannya. Kakinya dibiarkan telanjang. Sebagian warga bertahan di kantor Gubernur Jambi. Mereka memprotes terjadinya penggusuran dan tak adanya perlindungan negara. Sebagian lagi, terus memompa semangatnya di ibukota: di teras kecil Ruang Pengaduan Asmara Nababan. Hari itu, 24 Desember, sesaat sebelum Natal. Tapi tampaknya, kedamaian tak mampir di sana.