Bisnis.com, JAKARTA - Kasus bioremediasi PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) yang kini menuai kontroversi dinilai merupakan pidana administrasi, bukan kasus korupsi dan tidak ada kerugian negara.
"Kasus bioremediasi Chevron jelas konteksnya masalah administrasi. Tidak ada kerugian negara dari APBN. Uang siapa yang dianggap sebagai kerugian negara," ujar Dian Puji Simatupang, pakar Hukum Administrasi UI dalam talk show yang diselenggarakan INILAH Group, Selasa (8/10).
Oleh karena itu, sambungnya, seharusnya tidak ada sanksi badan. Sebaliknya, jika melanggar, dikenakan sanksi denda.
Dia menjelaskan masalah bioremediasi jika tidak dituntaskan, menjadi kontradiktif dan tidak bisa menyelesaikan masalah pencemaran.
Dia menjelaskan perlu ada instrumen baru karena masalah lingkungan terlalu banyak.
"Jelas ini soal kontrak sehingga perlu perbaikan masalah hukum. Jika hukum bertentangan tidak bisa diidentifikasi. Di Indonesia sebenarnya ada dua lembaga, yakni MA dan MK. Namun, kini MK sedang heboh," ungkap Dian.
Menurutnya, persoalan tersebut semakin berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Padahal, kasus tersebut murni karena penataan hukum di Indonesia tidak terstruktur.
Dia menjelaskan akibat penataan hukum yang memiliki aturan tidak terstruktur, maka sejumlah lembaga memiliki tafsir sendiri dalam menentukan sebuah regulasi.
Itu menjadi salah satu penyebab penyalahgunaan wewenang oleh para pengambil keputusan dalam sebuah perkara peradilan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara memaksa, mengancam dan meminta.
“Kalau merujuk pada kasus bioremediasi CPI. Jelas ada wewenang yang digunakan untuk memaksakan dan mereka berlindung di balik regulasi yang tidak terstruktur tadi," katanya.
Menurut Dian, Bioremediasi aturannya berkaitan langsung dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) justru dinilai salah oleh penegak hukum. Padahal aturannya sendiri dibuat oleh KLH, tetapi penegak hukum justru menyalahkan aturan itu.
Prof M. Udiharto, Pakar Bioremediasi Lemigas mengatakan pelestarian lingkungan sudah tertuang dalam ketentuan hukum. Begitu pula kaitannya dengan industri hulu migas.
"Jika kegiatan itu berpotensi mencemari lingkungan, maka harus menjalankan pengembalian lingkungan pascaeksplorasi atau eksploitasi," ujarnya.
Oleh karena itu, sambungnya, bioremediasi merupakan suatu hal yang penting dijalankan. Hukum menyatakan pelestarian lingkungan memang perlu dilakukan.
Anggota Komisi VII DPR . S. Milton Pakpahan, menjelaskan bioremediasi atau proses dalam penyelesaian masalah sangat penting dilakukan terkait dengan kegiatan lingkungan.
Limbah migas yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi perlu diolah agar tidak mencemari tanah dari lokasi pengelolaan migas oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
"Berangkat dari kasus bioremediasi yang dialami Chevron, sebaiknya bioremediasi perlu dimasukkan dalam revisi Undang–undang Migas No 21/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Bioremediasi di Indonesia harus tetap dijalankan karena setiap pembangunan harus berwawasan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Selain mengatur bioremediasi, RUU Migas juga akan memberi kewenangan lebih kepada SKK Migas," ujarnya.
Bioremediasi, menurutnya, enjadi kewajiban agar lokasi pengelolaan migas ini bisa diolah sehingga pencemaran tanah ini bisa dikembalikan seperti semula.