Bisnis.com, NUSA DUA - Peringkat utang anggota APEC dinilai telah merefleksikan daya tahan yang luar biasa dalam 5 tahun sejak krisis ekonomi global, berkat kampanye perdagangan bebas dan terbuka, serta investasi di kawasan Asia Pasifik dalam 2,5 dekade terakhir.
Klaim tersebut dinyatakan oleh Moody’s Investors Service pada Kamis (3/10/2013) dalam paparan monitor peringkat utang anggota APEC jelang partisipasi perusahaan pemeringkat terkemuka itu pada CEO Summit di Bali, 5-7 Oktober 2013.
Moody’s mengatakan hanya obligasi pemerintah Jepang dan Vietnam yang mengalami penurunan peringkat sejak September 2008.
Sementara itu, 7 anggota APEC tercatat mengalami kenaikan peringkat beberapa kali berkat perbaikan sistem utangnya.
Secara umum, peringkat utang 18 anggota APEC yang dipantau Moody’s saat ini memiliki outlook ‘stabil’. Di lain pihak, peringkat Baa2 Peru dinilai ‘positif’ dan peringkat Baa1 Filipina kemungkinan akan dinaikkan lagi.
“Sebagian pemerintah [APEC] memasuki krisis dengan defisit kecil, utang yang relatif rendah, dan kebutuhan pendanaan bruto yang sedikit. Mereka keluar dari krisis dengan neraca keuangan yang tidak terganggu,” jelas Thomas Byrne, Wakil Presiden Senior Moody’s.
Penilaian utang kawasan yang baik tersebut, lanjutnya, didukung oleh performa ekonomi yang cukup kuat dari negara-negara Asia Timur dan Amerika Latin dewasa ini.
Kendati demikian, Byrne melihat APEC masih menghadapi beberapa tantangan baru pascakrisis 2008. Termasuk di antaranya adalah proses pemulihan yang lambat di negara-negara maju yang menghambat permintaan ekspor, yang menjadi sumber kunci pendapatan, laba korporasi, dan pembukaan lapangan kerja.
Selain itu, volatilitas pasar modal global sebagai dampak antisipasi pengurangan stimulus negara maju juga menjadi tantangan APEC. “Bagaimanapun, kami merasa krisis neraca pembayaran tidak akan terjadi, bahkan di negara yang mata uangnya tertekan sejak Mei,” lanjutnya.
Lambatnya pertumbuhan China—ekonomi terbesar kedua di APEC dan kunci penggerak pertumbuhan kawasan—juga menambah ketidakpastian outlook Asia Pasifik. Dampak dari anjloknya harga komoditas juga menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan kemerosotan neraca pembayaran di beberapa negara.
“Kami belum melihat adanya hard landing, tapi laju pertumbuhan China sepanjang sisa dekade ini tidak akan pesat seperti sebelum krisis global. Sebagaimana terjadi saat reformasi 3 dekade, framework kebijakan struktural China akan mempengaruhi trayek pertumbuhan ekonomi kawasan sepanjang sisa dekade ini,” kata Byrne.