Bisnis.com, BATAM – Kamar Dagang dan Industri Kota Batam resmi mendaftarkan gugatan terhadap pengesahan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 463 tahun 2013 tentang peralihan lahan hutan lindung ke Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjungpinang di Batam.
Masrur Amin, Wakil Ketua Bidang Hukum Kadin Kota Batam yang juga Ketua Tim Pengacara Kadin Batam, menegaskan pihaknya telah melengkapi syarat – syarat dan legal standing yang dibutuhkan untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
“Hari ini [kemarin] secara resmi gugatan kami sudah masuk ke PTUN Tanjungpinang. Ini membuktikan pengesahan SK Menhut Nomor 463 itu secara nyata telah berdampak buruk terhadap iklim bisnis di Kota Batam,” ujarnya, Rabu (25/9).
Pendaftaran gugatan ke PTUN Tanjungpinang dilakukan oleh tim pengacara Kadin Kota Batam dengan nomor pendaftaran 16/G/20/2013/PTUN-Tpi tanggal 25 September 2013.
Materi gugatan ditujukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam sebagai tergugat pertama karena telah menolak permohonan penerbitan sertifikat oleh salah satu perusahaan yang telah mendapatkan alokasi lahan dari Badan Pengusahaan Batam.
Selanjutnya, tergugat kedua adalah Menteri Kehutanan karena telah menerbitkan SK Nomor 463 yang menjadi dasar bagi BPN untuk tidak mengabulkan permohonan dari perusahaan karena adanya indikasi areal lahan bersangkutan masuk kawasan hutan lindung.
“Dasar gugatan kami adalah permohonan penerbitan sertifikat induk yang tidak dikabulkan oleh BPN sebagai akibat dari pemberlakuan SK Menhut tersebut. Sehingga kami minta agar SK tersebut dibatalkan,” papar Ahmad.
Ahmad Makruf, Ketua Kadin Batam, menegaskan pemberlakuan SK Menhut tersebut telah memicu keresahan dari para pelaku industri yang lokasinya terkena dampak dari surat keputusan itu.
“Konsulat Jenderal Singapura di Batam telah menyampaikan keresahannya kepada Kadin Batam karena pihaknya mendapat banyak pertanyaan dari industri asing yang beroperasi di pulau ini,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, beberapa investor yang berada di areal kawasan industri juga mengancam hengkang jika tidak ada kepastian atas status lahan di kawasan industri tersebut.
Akibat pemberlakuan SK Menhut tersebut pada Juni 2013 lalu, diperkirakan kerugian yang diderita oleh pengusaha mencapai puluhan triliun karena ketidak pastian hukum dan potensi penjualan unit rumah, ruko, dan kawasan industri yang tidak laku.
REI Khusus Batam menghitung perkiraan kerugian mencapai Rp15 triliun hanya dari sektor properti. Itu belum termasuk dari sektor industri karena areal kawasan yang tidak bisa terjual, dan sektor galangan kapal yang terancam hengkang karena masuk kawasan hutan lindung.
Sekitar 25 perusahaan galangan kapal yang beroperasi di Batam, Kepulauan Riau (Kepri) berdiri di atas lahan hutan lindung bila mengacu kepada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 463/2013.
“Anggota saya ada 47, dan 50% di antaranya masuk hutan lindung,” kata sekretaris Batam Shipyard Offshore Assotiation (BSOA) Novi Hasni.
Kebanyakan galangan kapal yang berada di hutan lindung berdiri di kawasan Tanjunguncang, Sagulung hingga Dapur 12.
Gugatan Judicial Review
Setelah mendaftarkan gugatan ke PTUN Tanjungpinang, tim pengacara akan mempertimbangkan apakah akan melanjutkan gugatan judicial review terhadap SK Menhut tersebut ke Mahkamah Agung di Jakarta.
“Dalam waktu beberapa pekan ke depan kami akan melihat kelanjutan dari gugatan di PTUN ini, jika memang dipandang perlu, maka kami akan melanjutkan pengajuan judicial review terhadap SK Menhut ke MA,” papar Masrur.
Menurutnya, segala upaya akan dilakukan agar SK tersebut bisa dicabut dan dibatalkan karena secara nyata telah memicu keresahan dan ketidakpastian dalam berbisnis di Kota Batam.
Dia menilai produk hukum harus dilawan dengan mekanisme hukum yaitu gugatan ke lembaga peradilan yang ada agar ada kepastian bagi masyarakat yang dirugikan dari pengesahan produk hukum tersebut.
“Kami tidak ingin berpolemik di media karena hanya akan memicu keresahan. Melalui gugatan ini kami berharap keresahan para pengusaha anggota Kadin Batam bisa terjawab dan ada kepastian,” tegas Masrur.