Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mengusulkan pemilihan bupati dan wali kota dikembalikan ke DPRD mengingat banyaknya muncul kasus korupsi dan korban jiwa akibat kerusuhan dalam pemilihan kepala daerah.
Demikian dikemukakan oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Johermansyah Johan, dalam diskusi RUU Pilkada bersama Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa dan Wakil Ketua DPD Laode Ida di Gedung DPD, Rabu (18/9/2013).
Menurut Johermasyah, fakta perilaku korup dan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat pilkada merupakan ancaman serius karena pemimpin yang kita pilih ternyata tidak menjalankan amanah rakyat.
Dia membeberkan 304 dari 524 kepala daerah kabupaten/kota tersangkut korupsi sejak dipilih langsung pada 2005-2013 ini. Sementara itu, konflik sosial yang mengakibatkan korban jiwa, harta, dan sebagainya dalam setiap pilkada telah berdampak buruk pada kehidupan berbangsa.
Pilkada langsung faktanya mengakibatkan berbagai konsekuensi buruk di masyarakat. Selain mahalnya ongkos politik, terdapat 70 korban jiwa, 107 korban luka, 279 rumah rusak, pertokoan yang dibakar, dan 95% pasangan pecah kongsi, ujarnya.
Dengan kejadian itu, ujarnya, birokrasi pemerintahan menjadi tidak berjalan dengan baik, sehingga layanan masyarakat terganggu. Sementara itu, untuk gubernur, ujarnya, tetap dipilih langsung karena ongkos politiknya lebih murah dan konflik sosial bisa dihindari ketimbang pilkada bupati dan wali kota.
Fakta politik tersebut juga merupakan pendidikan politik yang buruk bagi rakyat, ujarnya menambahkan. Karena itu pemerintah mengusulkan kepala daerah itu dipilih oleh DPRD Kabupaten/Kota. Sementara wakilnya diangkat dari unsur pegawai negeri sipil (PNS) atau non PNS, ujar Johermansyah.
Sementara itu, Agun menyatakan masih terjadi perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah terkait masalah tersebut. Namun demikian dia menyebutkan tidak sepakat bahwa pemilihan langsung itu yang menyebabkan pejabat menjadi koruptor.
Penyebabnya adalah akibat pemerintah pusat tidak konsisten menjalankan otonomi daerah, ujar Agun. Menurutnya, banyak alokasi anggaran seperti kesehatan, pertanian, dan pendidikan masih dipegang oleh pemerintah pusat. Mestinya anggaran itu diserahkan langsung kepada daerah, ujarnya. Kalau gula-gulanya di Jakarta, dan dana alokasi umum (DAU) juga di Jakarta, maka ini sebagai design untuk menggagalkan otonomi daerah, ujarnya.