Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lagi-lagi PKS Menakar Nyali SBY

BISNIS.COM, JAKARTA--Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kembali membuat ulah. Ibarat duri dalam daging bagi Sekretariat Gabungan (Setgab) Parpol pendukung pemerintah, para elit PKS--baik secara terbuka maupun ‘dibalik layar’-- terus mengkampanyekan

BISNIS.COM, JAKARTA--Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kembali membuat ulah. Ibarat duri dalam daging bagi Sekretariat Gabungan (Setgab) Parpol pendukung pemerintah, para elit PKS--baik secara terbuka maupun ‘dibalik layar’-- terus mengkampanyekan penolakan atas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Kembali berulah, karena memang bukan yang pertama kali sikap serupa diambil oleh partai yang selalu merapat ke pemerintahan berkuasa tersebut. Penolakan itu hanya perulangan saja, dengan timing politik yang berbeda dari tahun 2012.

Ketika itu, sebagian elit Partai Demokrat, pemimpin koalisi yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, juga mencap PKS sebagai pembangkang. Pasalnya, partai ‘santri kota’ itu gencar mengkampanyekan penolakan atas kenaikan harga BBM.

MENUNGGU TALAK

Namun demikian, dua kali pembangkangan PKS, juga disambut dua kali pembiaran oleh pemimpin partai berkuasa tersebut yang tidak lain adalah Presiden SBY. PKS sendiri menunggu putusan diceraikan dari koalisi langsung dari bibir SBY, bukan dari “The President’s Men” atau orang yang berada di sekitar SBY.

Presiden tampaknya belum bergeming mengeluarkan pendapatnya soal posisi PKS di Setgab. Lalu ada apa sebenarnya yang terjadi?. Dengan kata lain, kekuatan pembangakangan PKS masih ‘seimbang’ dengan kekuatan partai berkuasa untuk ‘membiarkan’ perilaku tersebut.

Pengamat politik dari Pol-Tracking Institute, Hanta Yudha mengatakan pada dasarnya dilema PKS tersebut bisa diselesaikan oleh Presiden SBY sebagai pemegang hak prerogatif. Mendepak atau membiarkan PKS terus berada di Kabinet Indonesia Bersatu, adalah hak yang tidak boleh diganggu gugat karena berdasarkan konstitusi.

Syarat untuk mendepat PKS dari koalisi pun sebenarnya sudah terpenuhi. Apalagi, sudah ada kontrak politik dengan peserta koalisi. Dengan demikian, SBY tidak perlu mengulur sehingga menguntungkan citra PKS sebagai ‘pembela kepentingan rakyat’ dengan menolak rencana pemerintah.

“Dalam kontrak politik dengan partai koalisi, sudah jelas kalau satu partai tidak bisa lagi berkomunikasi, dan itu sudah terjadi, maka peserta koalisi dianggap mengundurkan diri,” ujarnya kepada Bisnis ketika dimintai pendapatnya terkait dilema tersebut, Jumat (14/6/2013). Lalu, kalau kondisinya sudah demikian, prasyarat apa lagi yang harus ditunggu SBY kalau tidak ingin dipersepsikan sebagai presiden yang terlalu berhati-hati dalam mengambil sikap kalau tidak mau disebut penakut.

Mendepak PKS bagi Presiden SBY tampaknya memang tidak sesederhana apa yang dipikirkan sebagian orang. Berbeda dari timing politik masa lalu, ketika PKS membangkang soliditas di antara partai koalisi tentu masih kuat karena saat itu kekuasaan pemerintah SBY masih panjang.

Akan tetapi, setelah seluruh partai koalisi berhasil kembali masuk ke arena Pemilu 20104, ceritanya tentu lain. Kohesi di antara mereka sudah mulai melemah sebagaimana terlihat dari kengganan peserta koalisi melakukan rapat-rapat Setgab yang dulu sering digelar. Apalagi, posisi SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum, telah  membuat kedudukannya sama dengan para ketua umum partai lainnya. Secara politis, misalnya, kedudukan SBY sama dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.    

“Saya yakin PKS tidak akan keluar dari koalisi, kecuali Presiden SBY sendiri yang mengeluarkannya,” ujar Hanta. Dia berhitung dengan mengelurakan PKS, kekuatan koalisi pemerintah di DPR tinggal 65% sehingga sebagai pemimpin koalisi, Partai Demokrat tidak percaya diri. Presiden SBY pun akan gamang menghadapi berbagai manuver politik di tengah merosotnya elektabilitas partainya menjelang Pemilu 2104, ujarnya.

Mendepak PKS akan membuat partai tersebut dicitrakan publik sebagai partai yang dizalimi karena dinilai membela kepentingan rakyat. Pada poin itu, baik Presiden SBY maupun Partai Demokrat harus berhitung ulang.

Sedangkan pada sisi lain, Partai Golkar akan memegang bandul kekuasaan sekaligus penentu konstelasi politik menjelang Pemilu 2014 sepeninggal PKS. Partai yang sudah berpengalaman selama lebih dari 40 tahun di pemerintahan itu tentu akan memiliki bargaining positition yang kuat. Sekali lagi Presiden SBY dan partainya tentu harus berhitung ulang.

Kini bola ada di tangan Presiden SBY, bukan di PKS. Apakah bola itu akan dimainkan atau selanjutnya SBY terus mengulur waktu dan menyerahkan keputusan itu kepada “The President’s Men” yang hanya punya kekuatan untuk menyemburkan isu tanpa legalitas yang jelas, kita tunggu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Lahyanto Nadie

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper