BISNIS.COM, JAKARTA - Duta Besar China untuk Indonesia Liu Jianchao mengatakan, negara-negara bersengketa di Laut China Selatan dan Laut China Timur perlu melihat fakta sejarah mengenai masalah klaim wilayah di perairan tersebut.
Setelah bertahun-tahun eskalasi ketegangan terus terjadi dan berpotensi menimbulkan konflik terbuka, sebenarnya yang paling penting adalah fakta sejarah mengenai kawasan tersebut dan juga implementasi kesepakatan dalam Deklarasi Tata Berperilaku (DoC), kata Dubes Jianchao, di Jakarta, Selasa (4/5/2013).
Sengketa di Laut China Selatan dan Laut China Timur masih terus bereskalasi dan dikhawatirkan dapat menjadi potensi konflik terbuka di kawasan Asia Pasifik, mengingat sejumlah negara-negara Asia juga mulai meningkatkan anggaran militernya.
Menurut dia, China meyakini sebagian besar wilayah Laut China Selatan telah berada dalam pengendalian administrasi pemerintahan mereka sejak berabad-abad yang lalu. Begitu juga dengan Pulau Diayou di Laut China Timur atau yang disebut Beijing Senkaku, gencar diklaim China, terutama sejak akhir Perang Dunia II.
"Pada intinya negara-negara bersengketa perlu melihat sejarah dan menghargai itu dalam menangani masalah klaim ini," ujar Jianchao lagi.
Dia mengatakan khusus di Laut China Selatan, selain fakta sejarah, negara-negara bersengketa juga perlu menunjukkan komitmennya pada implementasi Deklarasi Tata Berperilaku (DoC) yang disepakati China dan Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 2003.
Hal itu sebelum tercipta Kode Tata Berperilaku (CoC) yang juga menjadi mandat dari DoC tersebut, katanya pula.
Masalah potensi konflik terbuka dari sengketa perairan ini mencuat pada pertemuan Menteri Pertahanan sejumlah negara Asia, Amerika Serikat, dan Inggris pada pertemuan Shangri-La Dialogue di Singapura akhir pekan lalu.
Peningkatan postur militer negara-negara Asia juga menjadi sorotan karena dikhawatirkan dapat memicu gangguan stabilitas secara regional.
Filipina pada 20 Mei lalu mengumumkan peningkatan anggaran sebanyak 1,82 miliar dolar AS untuk mempertahankan wilayah maritimnya, di tengah persengketaan yang terus memburuk dengan China.
Jianchao juga mengakui peningkatan anggaran di China, namun tanpa menyebut angkanya secara detail. Dia menyatakan peningkatan anggaran militer tersebut tidak memiliki pretensi untuk memicu konflik dan kecurigaan, karena murni untuk meningkatkan kapasitas pertahanan negaranya.
"Itu adalah hal penting untuk kepentingan nasional, dan semua negara perlu melakukan sesuatu untuk meningkatkan kapasitas pertahanannya. China melakukan itu termasuk juga Indonesia, tapi yang penting bagaimana menjalin kemitraan di bidang pertahanan," ujarnya.
Menurut data tahunan Institut Internasional untuk Kajian Strategis (IISS), lembaga penyelenggara Shangri-La Dialogue, seperti dikutip AFP, China juga meningkatkan anggaran pertahanan mereka sebesar 8,3% pada 2 tahun terakhir, dan menjadi negara kedua terbesar di dunia dalam anggaran militer setelah AS.