BISNIS.COM, BANDUNG--Implementasi pembenahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dinilai tidak akan berjalan selama tidak ada kejelasan koordinasi antara pemerintah pusat hingga daerah.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Setiawan Wangsaatmaja mengatakan saat ini kewenangan DAS Citarum terkotak-kotak di berbagai sektor dan instansi mulai dari pusat, provinsi hingga 8 kabupaten/kota yang teraliri sungai tersebut.
“Citarum ini sudah ditetapkan sebagai sungai strategis, punya masalah yang kompleks, ini harus diatur semuanya,” katanya, Selasa (23/4/2013).
Dia menjelaskan persoalannya sepanjang DAS ada sejumlah kewenangan yang berbeda-beda di setiap sektor. Dia menunjuk soal konservasi yang di dalamnya terdapat hutan negara, hutan rakyat, perkebunan, hingga Perhutani.
“Semua program sudah ada dan terperinci, tinggal bagaimana ini bisa dijalankan, dan segala kewenangan bisa ditembus,” tuturnya.
Selain itu, sumber pendanaan yang juga berbeda-beda menjadi salah satu kendala tersendiri. Menurutnya, dana untuk konservasi cenderung lebih lambat dibandingkan dengan pengerukan sedimentasi Citarum.
“Sinkronisasi ini yang dibutuhkan untuk tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat pendanaan,” tegasnya.
Untuk mengatasi persoalan itu, pihaknya bersama Satuan Tugas DAS Citarum akan segera menyusun aturan operasional agar masalah lintas kewenangan bisa teratasi.
Persoalan DAS Citarum sudah bergeser dari persoalan teknis ke persoalan sosial. “Ketentuan operasional ini harus disepakati seluruh pihak terkait,” ujarnya.
Setiawan mengaku saat ini belum jelas koordinator pembenahan DAS Citarum yang menyedot dana besar tersebut. Dia menilai seharusnya ada badan khusus untuk menanangani persoalan tersebut.
“Saat ini sudah ada Satgas yang baru dibentuk, diharapkan bisa menjalankan ketentuan operasional ini,” katanya.
Menurutnya Satgas ini bertugas mengoordinasikan berbagai pemegang kewenangan dan persoalan administratif, serta melakukan pendekatan pada lembaga-lembaga terkait DAS Citarum.
“Ada sejumlah program yang akan kami supervisi, ini masih layak dijalankan atau tidak dan dibuat ketentuan operasionalnya,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung Marlan mengatakan solusi permasalahan banjir di Kabupaten Bandung tidak bisa sepenuhnya menjadi beban dari pemda setempat, karena pemicunya sangat kompleks.
"Kewenangan Sungai Citarum ada di pemerintah pusat. Masyarakat dan dunia usaha harus dilibatkan dalam mengatasinya," ujarnya.
Pemerintah pusat sebenarnya sudah memerintahkan penyelesaian banjir akibat limpasan air Sungai Citarum kepada Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC), dengan melakukan pengerukan dan pembuatan folder.
Akan tetapi, tingginya sedimentasi Citarum membuat daya tampung sungai menjadi tidak memadai, ketika hujan deras turun.
Hal ini, terjadi karena sejumlah areal di sepanjang daerah aliran Citarum dijadikan sebagai lahan bercocok tanam dengan komoditas tanaman yang tidak tepat. Akibatnya, sedimentasi di Citarum mencapai 5.000 meter kubik per tahun.
"Proses pengerukan oleh BBWSC itu baru mencapai 50%. Di samping itu, memang curah hujan tinggi sehingga banjir menjadi persoalan yang tidak bisa dihindarkan," ucapnya.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan menambahkan banjir yang sering terjadi Selatan Kabupaten Bandung disebabkan salah kelola ruang di Cekungan Bandung yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan sebagian Kabupaten Sumedang.
"Banjir semakin parah terjadi karena wilayah cekungan di Utara sudah banyak alih fungsi dari sebelumnya kawasan resapan menjadi hunian. Di sebelah Selatan pun sama hutan dirubah menjadi kawasan tempat tinggal," katanya.
Padahal Sungai Citarum sebagai muara dari aliran air permukaan bagi lima kabupaten/kota yang ada di Bandung raya dan sekitarnya. Permasalahan kelola ruang juga berkaitan dengan tata kelola persampahan di Cekungan Bandung yang buruk.(k6/k57)