Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RON 90, BBM Pengganti Premium Hemat Subsidi

BISNIS.COM, YOGYAKARTA -- Pengadaan bahan bakar minyak dengan "research octane number" 90 sebagai pengganti premium, lebih efektif untuk menghemat subsidi BBM, kata pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo. "Pengadaan BBM dengan

BISNIS.COM, YOGYAKARTA -- Pengadaan bahan bakar minyak dengan "research octane number" 90 sebagai pengganti premium, lebih efektif untuk menghemat subsidi BBM, kata pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo.

"Pengadaan BBM dengan 'research octane number" atau RON 90 bisa jadi alternatif yang efektif untuk menghemat hingga 50 persen subsidi BBM, disamping juga menyajikan kualitas yang lebih baik," katanya di Yogyakarta, Rabu.

Rimawan mengatakan meskipun dengan pengadaan BBM berkualitas di atas premium (RON 88), dan di bawah pertamax (RON 92), juga mengakibatkan harga akan naik hingga menjadi Rp7.000.

Namun, menurut dia, ini lebih efektif menghemat, daripada dilakukan pembatasan atau pembedaan harga.

"Dengan pengadaan RON 90 pemerintah bisa menghemat hingga sekitar Rp150 triliun, sementara apabila dilakukan kenaikan dengan pola membedakan konsumennya, hanya menghemat Rp21 triliun, karena juga memerlukan biaya supervisi pengawasan," katanya.

Menurut dia, dengan RON 90 masyarakat bisa lebih menerima, karena disamping menaikkan sedikit harganya, namun juga mendapatkan kualitas BBM yang bagus, dan merata, tanpa membedakan konsumennya.

"Memang akan memerlukan waktu yang agak lama antara dua hingga tiga bulan untuk pengadaannya, namun risikonya lebih rendah dibanding solusi lainnya," katanya.

Namun demikian, lanjut dia, kenaikan harga tersebut juga harus diikuti dengan penyaluran subsidi langsung kepada masyarakat miskin.

"Untuk mengimbangi kenaikan itu, pemerintah juga harus melakukan subsidi langsung, misalnya berupa bantuan langsung tunai (BLT). BLT lebih efektif daripada memberikan BBM bersubsidi yang nyatanya sebagian besar orang kaya justru juga ikut menikmati," katanya.

Menurut dia, solusi tersebut lebih efektif dibanding pemerintah harus menaikkan harga untuk kendaraan atau mobil pribadi saja, yang pada akhirnya justru dapat mengakibatkan konflik horisontal di tingkat SPBU.

"Ada rencana untuk menaikkan tarif BBM untuk mobil pribadi sekitar 30 persen, sedangkan motor dan kendaraan umum tetap Rp4.500 per liter, itu artinya pemerintah melakukan 'price discrimination', yang justru berpotensi konflik di tingkat SPBU," katanya.

Selain itu, apabila tidak ada pengawasan yang intensif di tingkat SPBU, penjualan kembali atau "reselling" di tingkat penjual pengecer kemungkinan besar terjadi.

"Kalau pun harus ada pengawasan, itu juga membutuhkan biaya yang lebih mahal, karena tidak mungkin 24 jam harus dilakukan pengawasan di 5.000 SPBU di seluruh Indonesia," katanya.

Sementara itu, apabila opsi lain yang akan ditempuh pemerintah yakni membatasi suplai BBM bersubdi untuk SPBU, maka tetap akan mengakibatkan risiko terhambatnya roda perekonomian, serta terjadi penimbunan yang mengakibatkan kenaikan harga di tingkat penjual pengecer, sehingga memicu inflasi.

"Pada awal bulan orang akan berbondong-bondong membeli BBM, untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang mahal. Sementara kenaikan harga di tingkat penjual pengecer efektif menimbulkan inflasi. Pembatasan itu justru tidak logis," katanya. (Antara/dot)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : Newswire
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper