BALIKPAPAN: Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) menegaskan pengenaan pajak alat berat sebagai kendaraan bermotor tidak sesuai karena adanya dugaan double taxation pada pemungutan pajak tersebut.
Direktur Eksekutif Aspindo Susanto Joseph mengatakan menurut para ahli yang diajukan Aspindo sebagai saksi dalam judicial review UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah alat berat yang banyak digunakan dalam industri pertambangan tidak menggunakan jalan umum selama kegiatannya.
Sementara itu, kendaraan bermotor yang dipungut pajaknya disebabkan karena penggunaan jalan umum tersebut sehingga ahrus diperbaiki oleh negara.
“Sehingga dari situ dikatakan tidak beralasan pengenaan pajak terhadap alat berat ini,” ujarnya usai konferensi pers ConBuild Mining 2012 hari ini.
Susanto mengungkapkan alat berat yang beroperasi di pertambangan difungsikan sebagai alat produksi yang sudah dikenai pajak oleh pemerintah. Apabila dikenai pajak sebagai kendaraan bermotor, tentu aka nada perulangan pemungutan pajak pada satu jenis obyek pajak.
Sebagai pengguna alat berat terbesar di Indopnesia, imbuh Susanto, anggota Aspindo tidak keberatan untuk membayar pajak. Namun, pemerintah perlu memberikan dasar yang relevan kepada pengusaha bagi pemungutan pajak untuk alat berat ini..
Sementara itu, Sekretaris Dewan Pengurus Apindo Kaltim Herry Johanes mengakui perpindahan alat berat dari satu tempat menggunakan jalan umum. “Namun, itu kan menggunakan kendaraan lain yang sudah dibayar pajaknya. Jadi, tidak seharusnya barang yang diangkut itu dikenai pajak lagi,” katanya.
Herry menegaskan adanya tuntutan dari para pelaku usaha ini merupakan hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Kendati demikian dia menuturkan para pengusaha tetap membayar pajak alat berat tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebelum adanya keputusan dari Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim irianto Lambrie mengatakan pemberlakuan pungutan pajak alat berat sudah memiliki dasa ryang kuat dan jelas. Perusahaan-perusahaan tambang selama ini mengeruk keuntungan yang begitu besar sementara alat-alat berat itu dimobilisasi yang menggunakan jalan umum dan berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat.
“Ini sebagai kompensasi dari itu semua. Pemda berhak untuk menerbitkan perda sebagai dasar pungutan pajak daerah,” ujarnya.
Irianto mengatakan duplikasi seperti yang dikatakan oleh Apindo masih perlu kajian menyeluruh. Apabila perusahaan merasa keberatan atas pajak tersebut, masing-masing perusahaan bisa mengajukan keringanan atau dispensasi kepada Dispenda Kaltim. Kemudian, Dispenda akan melakukan pengecekan ulang untuk menentukan nilai keringanan tersebut.
Dia menuturkan apabila judicial review tersebut dimenangkan oleh penggugat, APBD Kaltim akan terpengaruh karena jumlah PAD berkurang. Namun, pihaknya akan tetap melakukan pemungutan pajak selama belum ada keputusan yang mengharuskan untuk mengubah Perda tersebut. Sumbangan pajak kendaraan bermotor bagi pendapatan asli daerah (PAD) Kaltim pada 2011 mencapai sekitar 20% hingga 30% dari total PAD yang mencapai Rp4,3 triliun. (sut)