JAKARTA: Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi dinilai sebagai katalis positif terhadap perekonomian nasional. Pasalnya, pengurangan beban subsidi membuka ruang fiskal untuk belanja modal, terutama pembangunan infrastruktur.Senior Economist UBS for Asean Research Edward Teather menilai penyesuaian harga BBM bersubsidi merupakan kabar baik dalam jangka panjang, karena dapat membuka celah fiskal untuk alokasi pembangunan infrastruktur dan belanja modal.
Menurut Edward, jika Indonesia membiarkan harga minyak di level yang terlalu rendah, konsumsi akan terus melebihi kuota, anggaran subsidi akan membengkak, dan impor BBM akan meningkat."Kalau menghabiskan lebih sedikit anggaran untuk BBM dan lebih banyak untuk barang modal itu lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ungkap Edward dalam Media Briefing UBS Indonesia Conference 2012, Selasa 6 Maret 2012.Menurut Edward, penaikan harga BBM bersubsidi akan menimbulkan dampak inflasi yang cukup tinggi, namun hanya bersifat jangka pendek."Inflasi mungkin bisa mencapai 7% dengan naiknya harga BBM. Tapi hanya akan berlangsung selama setahun, setelah itu inflasi akan stabil, kembali ke level sebelum harga BBM naik karena pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup kuat," ujarnya.Dalam rancangan APBN-P 2012, pemerintah mengusulkan penaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1500 per liter. Penyesuaian harga ini seiring dengan perubahan asumsi harga minyak dunia ke level US$105 per barel.Kedua hal ini diharapkan dapat menghindarkan APBN dari potensi pembengkakan anggaran subsidi yang diperkirakan dapat mencapai Rp120 triliun. (ra)