Kabar24.com, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menjelaskan mengapa frekuensi terjadinya gempa di Indonesia terjadi lebih sering dalam kurun waktu terakhir.
Kepala Badan Litbang PUPR Danis H. Sumadilaga menjelaskan bahwa titik rawan gempa di Indonesia selama 7 tahun terakhir terus meningkat, dari dulu hanya 81 titik rawan menjadi 295 titik rawan sampai tahun lalu.
“Kita memiliki peta hazard gempa yang mengidenfitikasi potensi dan penyebab yang menimbulkan gempa. Pada 2010, teridentifikasi ada 81 hazard atau titik bahaya dan bertambah pada 2017 menjadi 295,” ungkapnya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada Jumat (26/1/2018).
Dia melanjutkan, “Artinya, risiko terjadinya gempa semakin besar dan pada kenyataannya memang demikian.”
Danis menjelaskan lebih dari 100 titik gempa teridentifikasi berada di wilayah Indonesia timur. Selain itu, titik rawan gempa juga terdapat di Jawa bagian utara, Sumatra, dan Sulawesi. “Kecuali di Kalimantan. Kalimantan relatif aman terhadap gempa.”
Selama 2017, dia mengatakan setidaknya terjadi 8.693 gempa. Adapun, gempa tersebut diklasifikasikan mulai dari gempa skala kecil, menengah hingga besar.
“Juga ini terjadi peningkatannya juga di jalur Utara Jawa. Kalau dulu di utara tidak terlalu teridentifikasi di Jawa,” ujar Danis.
Sementara itu, dari penelusuran Bisnis.com, Indonesia berada di atas tiga lempeng besar yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Indo-Australia bertemu Eurasia di pantai Sumatra, Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara.
Sementara, lempeng Pasifik berada di bagian timur Indonesia, menempel langsung dengan Indo-Australia dan tetap dalam jarak dekat dengan lempeng Eurasia.
Indonesia juga berada pada pusat tumbukan lempeng tektonik Hindia Australia di bagian selatan.
Keempat lempeng tersebut terus bergerak mendekat dan jika telah tiba di titik kulminasi, energi terlepas melalui proses gerakan besar yang disebut sebagai gempa bumi.