Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik diperkirakan akan melambat mulai 2018 setelah berekspansi secara kuat pada 2017. Reformasi ekonomi yang dilakukan oleh China menjadi salah satu penyebab terbesarnya.
Dalam laporan Global Economic Prospect (GEP) Januari 2018, pertumbuhan ekonomi di kawasan ini diprediksi berhasil tumbuh menjadi 6,4% pada 2017 dari 6,3% pada 2016. Namun, pertumbuhan tersebut diperkirakan tidak akan berlanjut pada tahun ini dan tahun berikutnya, di mana pada 2018 diperkirakan akan melambat menjadi 6,2% dan berturut-turut turun menjadi 6% pada 2020.
“Melambatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dan tahun berikutnya, sejatinya disebabkan oleh tekanan dari perlambatan ekonomi yang terjadi di China akibat reformasi yang sedang dijalankan negara itu,” tulis laporan tersebut, Rabu (10/1/2018).
Hal itu terlihat dari rata-rata negara di kawasan tersebut yang diperkirakan akan melanjutkan kemajuan sesuai siklusnya, terutama dalam investasi. Tetapi, kondisi itu diproyeksi tidak akan terjadi di China, sehingga membuat negara lain di kawasan tersebut relatif terbebani.
Pertumbuhan di China diproyeksikan melambat menjadi 6,4% pada 2018 karena reorentasi ekonomi dari berbasis industri menjadi konsumsi yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Langkah itu diperkuat pula oleh makin diperketatnya pertumbuhan kredit nasonal.
Jika pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik tidak menyertakan China, maka kawasan ini akan tumbuh mencapai 5,3% atau naik dari 2017 yang mencapai 5,2%.
Kendati demikian, kawasan ini diperkirakan akan terus menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi global. Di antara negara eksportir komoditas utama di Asia Pasifik, PDB Indonesia diproyeksikan akan meningkat menjadi 5,3% pada tahun ini dari 5,1% pada 2017.
Menguatnya pertumbuhan ekonomi Tanah Air mendapat dukungan dari konsumsi swasta yang menguat karena sejalan dengan kenaikan upah. Sementara itu, pada 2019 dan 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan pada posisi 5,3%.
Kondisi yang terjadi di Indonesia tersebut dinilai relatif lebih baik dibandingkan negara lain seperti Thailand dan China yang secara konstan mengalami perlambatan hingga 2020.
Sementara itu, Vietnam diperkirakan akan tumbuh 6,5% pada tahun ini setelah menembus 6,7% pada tahun lalu. Di negara ini, perekonomian domestik masih akan mendapat dukungan dari produksi pertanian dan manufaktur yang berorientasi ekspor yang relatif masih kuat.
Di sisi lain, untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, risiko negatif diperkirakan masih akan membayangi pertumbuhan ekonomi yang relatif kuat pada 2018 dan tahun-tahun selanjutnya.
Risiko itu salah satunya datang dari ketegangan geopolitik di Semenanjung Korea, yang dapat berdampak negatif terhadap kepercayaan diri dan memicu ketidakstabilan sektor keuangan.
“Pengetatan kebijakan fiskal maupun moneter yang lebih cepat dari perkiraan dari negara maju bakal menekan potensi pertumbuhan kawasan ini. Kondisi itu ditambah pula oleh perlambatan yang diprediksi akan terjadi di China,” tulis laporan tersebut.
Adapun risiko negatif lain yang membayangi adalah pertumbuhan utang dalam negeri, kebutuhan pembiayaan eksternal yang besar, dan lemahnya fundamental kebijakan pemerintah.
Selain kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, dampak yang diakibatkan oleh kepergian Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dinilai akan memperdalam ketidakpastian hubungan perdagangan dan investasi yang kuat antara Benua Biru dan Benua Asia selama ini.