Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Suap APBD Di Jambi Konsekuensi Penganggaran yang Tidak Libatkan Masyarakat

Kasus penyuapan terkait pengesahan APBD Provinsi Jambi merupakan konsekuensi dari penganggaran yang tidak melibatkan masyarakat. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan bahwa kasus semacam itu bukan suatu hal baru bahkan banyak terjadi. Hal ini, lanjutnya, merupakan suatu konsekwensi dari proses penganggaran yang hanya melibatkan pihak tertentu tanpa melibatkan masyarakat.
Zumi Zola calon Gubernur Jambi/Antara
Zumi Zola calon Gubernur Jambi/Antara

Bisnis.com,JAKARTA - Kasus penyuapan terkait pengesahan APBD Provinsi Jambi merupakan konsekuensi dari penganggaran yang tidak melibatkan masyarakat.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan bahwa kasus semacam itu bukan suatu hal baru bahkan banyak terjadi. Hal ini, lanjutnya, merupakan suatu konsekwensi dari proses penganggaran yang hanya melibatkan pihak tertentu tanpa melibatkan masyarakat.

“Jika berbicara anggaran tentu berbicara politik anggaran, siapa yang ikut menentukan anggaran dia yang mendapatkan jatah yang paling banyak,” ujarnya, Selasa (5/12/2017).

Hal menyebabkan di banyak daerah yang menyusun anggaran, pihak yang berperan hanya eksekutif yang diwakili oleh kepala daerah, legislatif yakni politisi dan pengusaha. Karena itu, di banyak daerah, APBD yang telah disusun hanya bertujuan untuk mememnuhi kepentingan ketiga pihak ini.

“Kalau pelaku penyuapan itu pengusaha, proyeknya akan dikerjakan oleh dia. Kalau bukan pengusaha, proyeknya akan dijual ke pengusaha lain dan dia akan mendapatkan fee dari penjualan proyek. Ini adalah praktik yang banyak kami temukan di daerah,” lanjutnya.

Berdasarkan kajian ICW, keuangan negara yang paling sering dikorupsi terletak pada APBD. Karena itu, langkah OTT yang dilakukan oleh KPK perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera, tetapi yang tidak kalah penting lagi adalah tindak lanjutnya yakni membuka eksklusifitas pembahasan penganggaran di daerah sehingga seluruh elemen masyarakat dapat berperan melakukan pengawasan.

“Tahapan penganggarannya akan ada dari bawah hingga ke atas, tetapi yang membuat keputusan akhir itu ada di eksekutif dan legislatif yakni di bulan-bulan ini pengesahan anggarannya dan itu bisasnya tidak terkontrol,” katanya.

Khusus terkait kasus Jambi, menurutnya, isu ketidakhadiran anggota DPRD pada sidang paripurna pengesahan anggaran dikarenakan ada kepentingan DPRD yang tidak terakomodasi dan merupakan upaya untuk menaikkan posisi tawar legislatif.

“Eksekutif jelas salah kalau menyuap agar anggota DPRD bisa hadir. Kalau pembahasan mandeg, maka mekanisme selanjutnya adalah menggunakan APBD tahun sebelumnya,” pungkas dia.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan penyuapan terkait pengesahan RAPBD 2018 Provinsi Jambi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan mengatakan keempat tersangka tersebut yakni Supriyono, Anggota DPRD Provinsi Jambi sekaligus anggota Badan Anggaran, Saipudin, Asisten III Sekretaris Daerah Jambi, Arfan, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jambi serta Erwan Malik, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Provinsi Jambi.

Supriyono sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) No. 31/1999 sebagai mana diperbaharui dalam UU No.20/2001, sementara tiga tersangka lainnya yang bertindak sebagai pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 a atau b atau Pasal 13 UU yang sama juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1.

“Dalam OTT ini KPK mengamankan total uang  Rp4,7 miliar yang diduga bersumber dari para pengusaha rekanan pemerintah daerah,” ujarnya.

Dia menjelaskan, uang suap yang diberikan tersebut bertujuan agar para anggota DPRD hadir dalam rapat paripurna pengesahan RAPBD 2018. Pasalnya, sempat beredar kabar  sebagian anggota berencana untuk tidak menghadiri rapat tersebut karena ketiadaan uang pelicin yang diberikan oleh pemerintah daerah.

“Untuk memuluskan pengesahan tersebut, terjadi kesepakatan antara anggota DPRD dan pihak eksekutif tentang penyerahan uang yang sering diistilahkan sebagai uang ketok dengan kode undangan,” tambahnya.

Pada Selasa (29/11/2017), menurutnya telah terjadi tiga kali penyerahan yakni sebesar Rp700 juta dan Rp600 juta pada pagi hari serta Rp400 juta pada siang hari yang diserahkan oleh Saipudin kepada Supriyono, sebelum ditangkap oleh tim KPK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper