Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie mengklaim program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran bukan hanya menjadi langkah strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), tetapi kini juga menjadi titik masuk bagi investasi baru.
Anindya menyebut bahwa MBG menarik perhatian serius dari para pengusaha, khususnya dari China.
“Pengusaha China melihat MBG bukan hanya program sosial, tapi sebagai terobosan besar yang punya efek berlipat, baik jangka pendek dalam penggerakan industri pangan, maupun jangka panjang sebagai investasi untuk 80 juta anak dan ibu hamil yang jadi sasaran program ini,” ujarnya saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Minggu (25/5/2025)
Anindya menjelaskan, program MBG menciptakan kebutuhan pangan harian dalam skala masif. Salah satu komoditas yang dicontohkannya adalah telur dan ayam yang memiliki permintaan 80 juta butir dan ekor per hari.
Menurutnya, permintaan tersebut menciptakan potensi besar untuk modernisasi dan industrialisasi sektor agrikultur. Oleh karena itu, dia melanjutkan, para investor tidak hanya tertarik berkontribusi dari sisi corporate social responsibility (CSR), tetapi juga ingin ikut membangun pasokan dan infrastruktur pendukung program ini.
Dia menyebut untuk mengorganisir partisipasi dunia usaha, Kadin tengah menyiapkan skema yang disebut MBG Gotong Royong atau MBG as a Service. Melalui skema ini, pengusaha dapat "membeli" paket dukungan program MBG, baik dalam bentuk pengadaan dapur, penyediaan bahan pangan, hingga logistik.
Baca Juga
“Kita ingin dorong ada seribu dapur, dimulai dengan pilot project. Sekarang sudah ada sekitar 16 dapur SPPG yang kita kembangkan sendiri dan beberapa ratus lainnya di daerah,” jelasnya.
Menurut Anindya, dapur-dapur ini bisa menjadi bentuk kontribusi nyata dari pelaku usaha.
“Misalnya, satu dapur bisa dibiayai dari CSR senilai Rp2 miliar rupiah. Tapi karena biaya per porsi makanan hanya sekitar Rp10.000, kita harus sangat hati-hati dalam pelaksanaannya supaya tidak rugi,” tegasnya.
Menariknya, kata Anindya, pengusaha China tak hanya berminat menyuplai bahan pangan, tetapi juga membangun rantai pasok dari hulu ke hilir. Pengusaha dari negeri bambu itu, menurutnya tidak hanya ingin impor, tapi ingin juga bangun pertaniannya, kebun, bahkan infrastruktur produksinya di Indonesia.
Bahkan, beberapa pengusaha China menyatakan minat terlibat di aspek logistik dengan mengintegrasikan AI dan robotik ke dalam distribusi makanan.
“Waktu saya ke Amerika, ada pengusaha yang ingin bantu logistik MBG pakai AI. Saya bilang bagus, tapi ingat tujuan utamanya adalah memperluas manfaat ke masyarakat, serta memberdayakan pengusaha lokal,” imbuhnya.
Ketika ditanya mengenai nilai investasi yang disepakati, Anindya menyebut tidak ada angka pasti yang dikunci dalam pertemuan tersebut. “
Tapi kan kita tahu satu dapur itu biayanya berapa. Kita akan tanya teman-teman dari China, mau ikut berapa? Yang jelas, pemerintah sudah komit jamin pembelian MBG senilai Rp170 triliun, itu angka yang besar,” ungkapnya.
Anindya juga mengungkap bahwa para pengusaha China akan lebih memilih berkontribusi di lokasi yang dekat dengan basis operasional mereka. Hal ini untuk memudahkan pengawasan dan pemanfaatan fasilitas yang ada.
Anindya pun menilai bahwa MBG bukan hanya program sosial, tapi model kolaborasi ekonomi baru antara negara dan dunia usaha. Dengan pendekatan "gotong royong" modern yang dikelola secara profesional, program ini bisa menjadi motor pertumbuhan sektor riil—mulai dari pertanian, logistik, hingga teknologi—sambil menjawab kebutuhan gizi nasional.
“Kalau setiap investasi yang masuk punya kontribusi kecil untuk MBG, saya rasa cita-cita pemerintah untuk mencapai 30 ribu dapur sangat mungkin tercapai,” pungkas Anindya.