Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah menggenjot pendirian Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih sebagai pusat kegiatan ekonomi baru di desa.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menjelaskan, program ini lahir dari aspirasi masyarakat desa yang disampaikan melalui mekanisme Musyawarah Desa Khusus (Musdesus). Dari hasil Musdesus tersebut, disepakati bahwa kepala desa bertindak sebagai ex-officio ketua pengawas koperasi.
“Dari hasil musdesus. Musdesus kan memutuskan kepala desa itu sebagai ex-officio ketua pengawas," ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (8/5/2025) malam.
Menurut Budi, antusiasme warga terhadap pembentukan koperasi ini sangat tinggi. Pemerintah bahkan menargetkan pada akhir bulan ini, jumlah koperasi yang terbentuk bisa mencapai puluhan ribu unit.
“Ini sudah antusiasme tinggi. Ini makanya saya yakin akhir bulan ini sudah bisa sekitar 50.000-60.000. Bahkan dalam waktu cepat itu bisa 80.000. Itu antusiasme tinggi di seluruh daerah," ungkapnya.
Menteri Koperasi menegaskan bahwa secara legalitas, seluruh koperasi yang ditargetkan—sebanyak 80.000 unit—diharapkan telah rampung proses hukumnya pada Juni. Sementara operasionalnya ditargetkan mulai berjalan pada Oktober.
Baca Juga
"Oktober itu operasional. Kita kan mempertimbangkan. Legalitasnya Juni sudah selesai semua. 80.000 Kopdes Merah Putih itu sudah selesai secara legalitas. Sebanyak 80.000 kopdes. Per hari ini sudah 9.800, mungkin dapat laporan sudah 10.000, kan sudah berkembang. Dan sekarang di daerah-daerah melakukan musdesus," imbuhnya
Terkait pendanaan, pemerintah telah menyiapkan skema pembiayaan melalui pinjaman dengan prinsip kehati-hatian.
Dengan prudent, kata Budi, semua aspek dipastikan pemerintah untuk diperhatikan gunamengurangi atau memitigasi risiko-risiko yang muncul.
Ketika ditanya apakah pembiayaan ini merupakan bantuan langsung dari APBN, Budi menegaskan bahwa koperasi tetap merupakan badan usaha milik desa yang keuntungannya dibagi kepada anggota, bukan sekadar menerima bantuan gratis dari negara.
“Gini, Kopdes ini harus dimaknai sebagai lembaga atau badan usaha. Tapi milik desa. Yang keuntungannya dibagi kepada anggota yang notabene warga desa itu juga. Supaya pemahaman berkoperasi itu begitu,” katanya.
Lebih lanjut, dia juga menjelaskan posisi Kopdes dibanding Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Keduanya tetap eksis dan memiliki fungsi berbeda.
Meski begitu, Budi menekankan bahwa Kopdes Merah Putih akan menjadi pusat distribusi barang-barang kebutuhan pokok yang disubsidi pemerintah.
Budi memastikan bahwa peran warung tetap dipertahankan, meskipun distribusi utama berada di tangan koperasi.
Dia menekankan bahwa model distribusi melalui Kopdes menciptakan posisi monopoli lokal yang secara logika bisnis mustahil merugi—kecuali terjadi penyimpangan atau moral hazard.
“Ini bisnis nggak mungkin rugi. Kamu ngerti nggak logikanya? Kalau ada penyimpangan? Bukan-bukan, penyimpangan soal lain. Cuman logikanya, bisnis monopoli rugi nggak? Tadi saya sampaikan ke Pak Presiden, Pak ini monopoli semua, Pak... Masa bisnis monopoli rugi? Kan bisnisnya nggak bersaing di pasar bebas,” ucapnya.
Terkait jumlah dan sebaran Kopdes, Budi menjelaskan bahwa karakteristik tiap desa berbeda. Oleh karena itu, pemerintah tidak memaksakan satu model untuk semua daerah.
Misalnya, dia mencontohkan di pulau Jawa, satu desa bisa memiliki 4.000 sampai 20.000 penduduk. Sementara di daerah Indonesia Timur, satu desa kadang hanya mencapai 400. Sehingga, setiap wilayah akan memiliki skala ekonomi yang juga berbeda.
Nantinya, kata Budi, untuk memastikan kelancaran operasional, pemerintah akan memberikan pelatihan dan pendampingan (capacity building) kepada pengelola koperasi.
Termasuk mengenai keanggotaan, Budi menjelaskan bahwa setiap warga desa berhak menjadi anggota koperasi tanpa batasan latar belakang. Namun, untuk menjadi pengurus, tetap harus memenuhi kriteria tertentu. Bahkan, menurutnya, pengurus tak boleh berasal dari partai politik.
“Nggak ada... Kan tadi anggota masyarakat desa itu. Kan nanti harus anggota masyarakat desa itu,” pungkas Budi.