Bisnis.com, JAKARTA — Hingga saat ini, pemerintah masih terus mencari formula paling efektif dalam pembangunan dan penyaluran program 3 juta rumah.
Salah satunya yakni dengan mempercepat penyaluran melalui pendekatan berbasis profesi yang menyasar kelompok profesi tertentu seperti guru, tenaga kesehatan, wartawan hingga pekerja sektor informal MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) agar lebih tepat sasaran dalam penyaluran KPR bersubsidi.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) mengatakan pendekatan profesi merupakan salah satu alternatif untuk mempercepat penyerapan kuota KPR subsidi.
“Ini salah satu cara agar kuota penyaluran KPR subsidi dapat dirasakan kalangan profesi tersebut, meskipun efektivitasnya belum bisa dipastikan apakah lebih baik dari pendekatan konvensional,” ujarnya dilansir Antara, Selasa (22/4/2025).
Menurutnya, skema ini memang menawarkan peluang percepatan penyaluran, namun keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi di lapangan. Meskipun skema KPR subsidi yang diberikan pemerintah bersifat seragam, namun kebutuhan dan kemampuan finansial tiap profesi sebenarnya sangat bervariasi.
“Prioritas kuota memang sudah disiapkan, namun kemampuan tiap profesi berbeda-beda. Tapi harusnya, dengan cicilan yang lebih ringan, kelompok-kelompok ini memiliki daya beli yang cukup,” katanya.
Baca Juga
Salah satu tantangan utama dalam penyaluran KPR subsidi yakni menjangkau pekerja sektor informal seperti pengemudi ojek online atau sopir taksi. Pasalnya, syarat utama untuk bisa membeli rumah yakni menggunakan slip gaji dan NPWP.
“Masalah yang sering tidak dimiliki oleh kelompok informal ini. Jika ada asosiasi, koperasi, atau perusahaan yang dapat menjamin dan membuktikan penghasilan mereka, maka penyaluran tetap bisa dilakukan, tentu dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian karena penghasilan mereka tidak tetap,” ucapnya.
Dia menilai dari sisi pasokan, program pembangunan rumah bersubsidi sudah cukup siap. Bahkan, saat ini banyak rumah subsidi ready stock yang belum terserap karena keterbatasan kuota. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan pada kesiapan unit, melainkan pada sistem distribusi dan dukungan pembiayaan.
Menurut Ali, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk mengatasi krisis backlog perumahan. Ali menekankan pentingnya peningkatan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
“Kuota FLPP tiap tahun cepat habis, bahkan bisa di pertengahan tahun. Idealnya, pemerintah menyediakan 400.000–500.000 unit per tahun,” tuturnya.
Selain itu, ketersediaan lahan murah menjadi hambatan besar. Bank tanah dari pemerintah menjadi solusi penting karena lokasi proyek FLPP saat ini banyak yang terlalu jauh dan kurang layak huni.
Dia menilai program perumahan berkelanjutan dan benar-benar berdampak jangka panjang terdapat 3 pilar yang menjadi fokus yakni menjaga ketersediaan lahan dan lokasi rumah FLPP yang layak dan dekat pusat aktivitas ekonomi.
Kemudian, aspek pembiayaan guna memastikan keberlanjutan pendanaan dari berbagai sumber seperti perbankan, Tapera, SMF, hingga BPJS Ketenagakerjaan. Selanjutnya, kebijakan yang ada harus mendorong insentif yang tak hanya menyasar MBR, tetapi juga kalangan menengah perkotaan yang saat ini kesulitan mengakses hunian
“Sayangnya, kebijakan saat ini yang diambil, sedikit sekali melibatkan masyarakat atau pihak lain yang paham soal perumahan sehingga kebijakan yang ada terkesan semaunya dan dikeluarkan mendadak tanpa persiapan. Ini saya kira agak mengganggu karena bisa menjadi seremonial saja, tidak efektif,” terang Ali
Terkait kekhawatiran pendekatan profesi dalam penyaluran rumah bisa menciptakan kesan diskriminatif, lanjutnya, bukan sebuah diskriminasi namun upaya percepatan agar MBR bisa memiliki rumah pertama.
“Soal adanya penolakan dari beberapa asosiasi profesi wartawan, tidak masalah, Beberapa asosiasi wartawan memang menolak dan mengangkat isu independensi. Saya kira, itu pilihan mereka, nggak masalah, inilah demokrasi. Tapi, PWI [Persatuan Wartawan Indonesia] sebagai asosiasi wartawan terbesar kan mau menerima, saya kira sudah mewakili,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida menyatakan bahwa kemudahan akses KPR dari pemerintah dapat menimbulkan kesan publik bahwa jurnalis tidak lagi kritis.
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawa berpendapat bahwa pemerintah seharusnya fokus pada pembuatan persyaratan kredit rumah yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Dia menyarankan agar Dewan Pers tidak terlibat dalam program tersebut, karena mandat Dewan Pers lebih fokus pada isu jurnalistik.