Bisnis.com, JAKARTA - Malaysia dikabarkan mulai serius dalam menyusun Undang-Undang soal kripto di negara mereka.
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengatakan ia ingin mengeksplorasi kebijakan untuk teknologi kripto dan blockchain di negara tetangga RI itu.
Hal ini dilakukan setelah pertemuannya dengan salah satu pendiri Binance CZ dan pemerintah Abu Dhabi.
Menurut laporan media New Straits Times, Ibrahim kembali ke Malaysia setelah kunjungan tiga hari ke Abu Dhabi dengan rencana untuk mulai mengembangkan kebijakan terkait teknologi mata uang kripto dan blockchain agar negara tersebut tidak tertinggal.
Berbicara kepada wartawan, sang Perdana Menteri mengatakan dia telah melakukan percakapan panjang dengan pemerintah Abu Dhabi dan mantan CEO Binance Changpeng “CZ” Zhao tentang teknologi kripto dan blockchain.
"Kita telah berbicara tentang transformasi digital, pusat data, dan kecerdasan buatan. Kini kita menghadapi tuntutan yang mengharuskan kita untuk berpikir tentang membuat perubahan yang signifikan," kata Ibrahim.
Baca Juga
Ia mengaku telah meminta sejumlah instansi pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Komisi Sekuritas, dan bank nasional, Bank Negara, untuk mempelajari bagaimana Malaysia dapat mengimbangi perkembangan pesat industri kripto.
Ibrahim memastikan bahwa ia akan menyusun makalah tentang perlunya kebijakan teknologi kripto dan blockchain yang akan diajukan untuk ditinjau dan disetujui oleh kabinet sesegera mungkin.
Ia juga menekankan pentingnya regulasi untuk kripto guna “menjaga kepentingan rakyat dan mencegah kebocoran.”
"Inovasi ini seperti AI, yang akan mengubah dunia keuangan. Kita tidak boleh berdiam diri dan menunggu, lalu dipaksa melakukannya setelah orang lain melakukannya," katanya.
Laporan Crypto News menyebut jika negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Singapura telah mengadopsi pendekatan serupa untuk mengembangkan pusat kripto mereka sendiri.
Kedua negara tersebut mengikuti jejak pemerintahan baru Amerika, yang telah vokal tentang rencananya untuk pemerintahan yang lebih pro-kripto di bawah Presiden terpilih Trump.
Selain itu, Ibrahim ingin bekerja sama dengan Uni Emirat Arab dan mengambil pelajaran dari mereka dalam hal cara membuat dan menerapkan regulasi untuk industri aset digital yang berkembang pesat.
"Mereka (para pemimpin UEA) merasa dapat menjalin kerja sama yang erat dengan Malaysia terkait isu ini. Kita perlu membahasnya secara rinci, meninggalkan model bisnis lama, dan memberi makna pada kebijakan keuangan digital ini," kata Ibrahim.
Ia berharap pemerintah Malaysia dapat lebih berpikiran terbuka terhadap perkembangan dan tantangan baru yang hadir dalam bentuk industri kripto.
"Seperti halnya semua ide baru yang diajukan, akan ada beberapa kekhawatiran. Kami harus melatih personel kami, mengembangkan kompetensi, dan mengajak para pemain untuk berpartisipasi," kata Ibrahim.
Sebagaimana diketahui, Desember lalu, Komisi Sekuritas Malaysia menutup bursa kripto Bybit karena beroperasi tanpa lisensi.
Pihak berwenang menangguhkan situs web dan aplikasi seluler bursa tersebut, memerintahkan bursa tersebut untuk menghentikan semua iklan kepada investor Malaysia dan menutup saluran Telegramnya.