Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MK Hapus Presidential Threshold 20%, DPR Ancang-ancang Omnibus Law Politik

DPR dikabarkan sedang mematangkan wacana untuk membentuk omnibus law politik yang semakin menguat pasca putusan MK.
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta. -Bisnis.com/Samdysara Saragih
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta. -Bisnis.com/Samdysara Saragih

Bisnis.com, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi memuluskan jalan bagi sebagain pihak yang ingin mengubah sistem pemilu. Golkar dan Gerindra mulai mendorong wacana tentang 'penguatan demokrasi' pasca putusan melalui amandemen UU Pemilu. 

Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tanjung, misalnya, secara eksplisit menuturkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) putusan perkara No.62/PUU-XXII/2024 itu sejalan dengan momentum untuk perbaikan sistem politik dan demokrasi Indonesia. 

Dia turut menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto di HUT ke-60 Partai Golkar, mengenai wacana Pilkada melalui DPRD. Prabowo memang sedang mendorong supaya pilkada langsung diganti dengan sistem representasi melalui parlemen. Hanya saja, wacana itu menuai polemik karena akan 'merampas' hak masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. 

Kendati demikian, Doli menyampaikan bahwa permohonan uji materi terhadap pasal 222 UU Pemilu yang sudah dilakukan lebih dari 30 kali itu bukanlah jawaban untuk seluruh permasalahan mengenai Pemilu di Indonesia. 

"Presidential threshold cuma salah satu isu dari sekian banyak isu yang menjadi bagian pembahasan penyempurnaan sistem Pemilu kita. Dan setiap isu bukanlah berdiri sendiri. Setiap isu saling terkait satu sama lain," tuturnya belum lama ini. 

Senada dengan Golkar, Ketua Fraksi Gerindra DPR, Budisatrio Djiwandono, menyatakan pihaknya memandang putusan Mahakamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20% merupakan langkah penting dalam penguatan demokrasi di Indonesia.

Keponakan Prabowo ini menambahkan bahwa Fraksi Gerindra akan menjadikan putusan MK sebagai acuan penting dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di DPR.

"Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu," ucap Budisatrio dalam keterangan resmi, Sabtu (4/1/2025).

Budi juga menegaskan, Gerindra berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi sehingga partainya memastikan akan menjunjung putusan MK sebagai bagian dari amanat demokrasi. Menurutnya, Gerindra sepenuhnya sadar bahwa putusan MK bersifat mengikat dan bagian dari pilar demokrasi yang harus dijaga.

"Masih ada sejumlah tahapan yang harus dilewati sebelum putusan ini diresmikan sebagai produk revisi UU. Maka dari itu, Fraksi Gerindra akan terus mengawal prosesnya, agar penerapan putusan bisa berjalan efektif dan selaras dengan amanat dalam putusan MK," ujar Budi.

Masuk Omnibus Law Politik?

Adapun Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut akan mengkaji putusan MK soal penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20%.

Kendati demikian, dia belum bisa memastikan secara pasti apakah memang betul putusan itu bisa dimasukkan dalam revisi UU Pemilu atau bahkan penyusunan Omnibus Law tentang politik.

“Saya belum tahu. Bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang diomnibuskan itu nanti belum kita putuskan,” katanya di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/1/2025).

Dilanjutkan Dasco, putusan MK pada 2 Januari 2025 kemarin nantinya pasti akan disikapi lebih lanjut oleh DPR dengan melakukan kajian-kajian. Ketua Harian Gerindra ini turut mengemukakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu, putusannya wajib untuk ditaati

Menurut dia, dengan adanya putusan itu maka diketahui MK membuka ruang untuk pencalonan presiden dan wakil presiden, tetapi juga ada keinginan agar jangan sampai calonnya terlalu banyak ataupun sedikit.

“Sehingga kita akan coba kaji dengan teman-teman di parlemen untuk mengupas dan juga kemudian membahas bagaimana sih itu yang namanya rekayasa konstitusi yang diputuskan oleh MK itu akan dijalankan oleh DPR, supaya kemudian tidak menyalahi lagi aturan yang ada,” pungkasnya.

Menteri Sudah Berembuk

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa para menteri dan perwakilan partai-partai politik sudah berkoordinasi untuk menindaklanjuti putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait presidential threshold (PT).

"Memang belum ada rapat koordinasi secara langsung untuk membahas masalah (putusan MK) ini, tapi konsultasi antar para menteri juga dengan parpol-parpol itu sudah terjadi untuk membahas implikasi dari putusan MK yang merupakan pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 itu," kata Yusril.

Yusril menyebutkan setelah adanya putusan terbaru MK, pasal 222 UU no. 7 tahun 2017 yang mengatur ketentuan presidential threshold artinya sudah tidak relevan dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga dibutuhkan pengaturan baru.

Maka dari itu pemerintah harus berkoordinasi dengan pihak yang paling terdampak yaitu partai-partai politik agar pengaturan baru terkait pemilihan umum (pemilu) bisa diajukan dengan lebih tepat kepada DPR untuk membuat regulasi baru sejalan dengan putusan MK.

Lebih lanjut, Yusril menyebutkan bahwa pengaturan baru yang akan diajukan nantinya berdasarkan lima panduan rekayasa konstitusional yang telah dikeluarkan lembaga yudikatif tersebut.

Salah satu rekomendasi rekayasa konstitusional tersebut ialah terkait pengaturan pencalonan dari setiap partai politik yang harus proposional. Yusril mencontohkan misalnya ada 30 partai politik yang akan menjadi peserta pemilu, artinya ada kemungkinan 30 calon presiden bisa diajukan dalam pemilu terkait. Namun tentu hal itu tidak akan efektif sehingga mekanisme koalisi seharusnya diperbolehkan.

"Tapi kalau bergabung jangan sampai 29 (partai) mencalonkan satu orang, lalu yang satu partai mencalonkan, akhirnya cuma jadi dua lagi (capresnya). Jadi bagaimana mekanismenya? In between, antara terlalu banyak atau terlalu sedikit, nah itu yang mesti dikompromikan," katanya.

Maka dari itu koordinasi dengan partai politik dibutuhkan sehingga pemerintah bisa menyusun rancangan kebijakan yang tepat untuk menjaga berlangsungnya proses demokrasi setelah putusan baru MK tersebut.

Rancangan itu tentu akan disampaikan Pemerintah ke DPR agar bisa memastikan pemilu selanjutnya berjalan dengan lancar, meski begitu Yusril mengatakan rancangan itu masih belum akan disampaikan dalam waktu dekat mengingat pemilu terdekat akan berlangsung 5 tahun lagi yaitu 2029.

"Satu sikap nanti dibawa ke DPR karena memang memerlukan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru,"tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper