Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap alasan pemeriksaan terhadap mantan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pengembangan kasus korupsi gas alam cair atau LNG.
Ahok kembali diperiksa oleh penyidik komisi antirasuah, Kamis (9/1/2025). Dia diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi untuk dua orang tersangka baru pada kasus korupsi pengadaan LNG Pertamina dari perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Corpus Christie Liquefaction (CCL).
Berdasarkan keterangan KPK, Dewan Komisaris periode saat Ahok menjabat telah memerintahkan Dewan Direksi pada saat itu untuk mendalami enam kontrak pembelian LNG dari AS yang diduga merugikan keuangan Pertamina.
Ahok lalu dicecar oleh KPK terkait dengan kerugian BUMN migas itu pada 2020 senilai US$337 juta (atau setara Rp4,8 triliun sesuai rata-rata kurs rupiah per dolar AS 2020 sekitar Rp14.500).
"Ahok didalami terkait adanya kerugian yang dialami Pertamina di tahun 2020 dengan potensi kerugian US$337 juta akibat kontrak-kontrak LNG milik Pertamina. Didalami juga permintaan DEKOM kepada Direksi untuk mendalami enam kontrak LNG pertamina tersebut," ungkap Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto kepada wartawan.
Adapun Ahok bukan satu-satunya mantan petinggi Pertamina yang diperiksa pada Kamis pekan ini. Ada tujuh orang lain yang diperiksa yakni mantan Sekretaris Direktur Gas Pertamina Sulistia, mantan Direktur Pengolahan Pertamina Chrisna Damayanto, serta mantan Manager Corporate Strategic Pertamina Power Ellya Susilawati.
Baca Juga
Kemudian, mantan Business Development Manager Pertamina Edwin Irwanti Widjaja, VP Treasury Pertamina Dody Setiawan, mantan Senior Vice President (SVP) Gas Pertamina Nanang Untung dan mantan VP Financing Pertamina Huddie Dewanto.
Selain itu, KPK turut memeriksa dua mantan Direktur Utama Pertamina yakni Dwi Soetjipto dan Nicke Widyawati masing-masing pada 7 dan 10 Januari 2025. Keduanya juga pernah diperiksa pada 2023 lalu untuk tersangka Karen Agustiawan.
"[Saksi, red] Dwi Soetjipto didalami terkait dengan tidak dapat dibatalkannya kontrak pembelian LNG Import dari CCL yang ditandatangani pada tahun 2013 & 2014 sekalipun ternyata diketahui di tahun 2015 bahwa LNG yang dibeli harganya tidak lagi ekonomis," ujar Tessa melalui keterangan terpisah.
Pemeriksaan para bekas pejabat di Pertamina itu merupakan bagian dari pengembangan penyidikan kasus korupsi LNG, yang sebelumnya menjerat Direktur Utama Pertamina 2009-2014 Karen Agustiawan.
Usai Karen dijatuhi pidana penjara sembilan tahun, KPK mengembangan penyidikan kasusnya dengan menetapkan dua orang tersangka baru yaitu Direktur Gas Pertamina 2012-2014 Hari Karyuliarto (HK) dan Senior Vice President (SPV) Gas and Power Pertamina 2013-2014 Yenni Andayani (YA).
Keduanya adalah mantan anak buah Karen yang diberikan kuasa untuk menandatangani perjanjian jual beli LNG Train 1 dan Train 2 dari anak usaha Cheniere Energy, Inc., Corpus Christie Liquefaction, LLC.
Dugaan KPK
KPK menduga terdapat sejumlah perbuatan melawan hukum pada pengadaan LNG impor dari CCL. Beberapa di antaranya pemalsuan risalah rapat dewan direksi yang menetapkan pembelian LNG impor asal Negeri Paman Sam itu.
Kemudian, terdapat dugaan bahwa kajian pengadaan LNG yang dilakukan tidak diserahkan ke Direktorat Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina.
Tidak hanya itu, lembaga antirasuah pun tengah mendalami penjualan LNG yang tidak terserap di dalam negeri itu ke perusahaan berbasis di luar negeri yang 50% sahamnya dimiliki Pertamina, yakni PPT Energy Trading Singapore atau PPT ETS.
Adapun dalam surat dakwaan terhadap Karen yang sudah dibacakan di pengadilan, pengadaan LNG dari CCL merugikan keuangan negara dan menguntungkan CCL sebesar US$113,83 juta. Angka itu merupakan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pada Juli 2024, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan indikasi baru dalam kasus Karen yang melibatkan empat pengadaan LNG lainnya di Pertamina.
"Kami menemukan hal baru terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh saudara KA (Karen). Ini terkait dengan CCL yang berada di luar negeri," ujar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (4/7/2024).
VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyebut perseroan menghormati proses yang sedang berjalan di KPK.
"Kami menghormati proses yang sedang berjalan di KPK, dan tentu Pertamina selalu menjunjung tinggi penerapan good corporate governance dalam setiap aksi korporasi sesuai aturan dan ketentuan berlaku," kata Fadjar kepada Bisnis melalui pesan singkat, Rabu (8/1/2025).
Karen, perempuan pertama yang memimpin Pertamina itu, sebelumnya dijatuhi vonis sembilan tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat, Juni 2024 lalu. Dia juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan, namun lolos dari pidana uang pengganti sebesar Rp1,09 miliar dan US$104,016 sebagaimana tuntutan jaksa. KPK juga sebelumnya membebankan pidana uang pengganti kerugian negara sebesar US$113,83 juta kepada CCL.
Putusan pengadilan pertama itu lalu dikuatkan dengan putusan banding yang dibacakan 30 Agustus 2024.