Bisnis.com, JAKARTA - Penipuan korporasi (corporate fraud) sejak lama menjadi salah satu tantangan terbesar dalam dunia bisnis modern saat ini. Praktik ini tidak hanya merusak nilai integritas, tetapi juga memiliki konsekuensi finansial, hukum, serta reputasi yang mendalam bagi perusahaan.
Dengan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada tanggal 2 Januari 2026, korporasi sebagai badan hukum yang diakui, kini memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Regulasi ini menggarisbawahi pentingnya tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dan mekanisme penilaian kepatuhan sebagai alat penting dalam pencegahan dan penanganan penipuan
KUHP baru dengan lugas menguraikan tanggung jawab pidana korporasi melalui Pasal 45 hingga 49. Pasal 45 mengakui korporasi sebagai badan hukum, yang mencakup berbagai bentuk struktur bisnis, baik badan hukum maupun yang bukan badan hukum.
Pasal 46 dan 47 menguraikan bahwa kejahatan korporasi dapat dilakukan oleh manajer, pengendali, atau individu lain yang bertindak atas nama korporasi. Pasal 48 menetapkan bahwa korporasi memikul tanggung jawab ketika kejahatan tersebut, termasuk dalam kegiatan bisnis mereka atau menghasilkan keuntungan yang melanggar hukum bagi korporasi
Komitmen terhadap tata kelola yang baik menjadi sangat penting dalam pencegahan penipuan. Prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran harus tertanam dalam semua aspek operasional perusahaan.
Baca Juga
Namun, bukti terkini menunjukkan bahwa banyak perusahaan tidak memenuhi prinsip tersebut. Laporan EY Global Integrity 2024 mengungkapkan bahwa anggota manajemen senior mendominasi tindakan tidak etis demi keuntungan pribadi. Bukti tersebut menyoroti kurangnya budaya kepatuhan pada level strategis.
Secara eksplisit KUHP baru menyarankan penerapan tata kelola yang baik untuk mencegah tindak pidana. Misalnya, pasal 48 huruf d menegaskan bahwa korporasi wajib menerapkan langkah-langkah yang memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum.
Langkah-langkah tersebut meliputi pembentukan sistem pengendalian internal yang kuat, program pelatihan antipenipuan, dan evaluasi risiko secara berkala. Oleh karena itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12/2024 menjadi acuan penting yang menekankan perlunya kebijakan antipenipuan yang terstruktur, prosedur pelaporan yang komprehensif, serta evaluasi dan penyempurnaan yang berkelanjutan.
Selain tata kelola, mekanisme penilaian atau penilaian kepatuhan merupakan instrumen penting untuk mengevaluasi kepatuhan perusahaan terhadap peraturan dan standar etika. Penilaian tersebut dapat mencakup audit internal, evaluasi risiko, dan pengawasan eksternal. Dalam hal ini, teknologi memainkan peran penting.
Penerapan alat analisis seperti Analisis Data Forensik (FDA) memfasilitasi deteksi dini pola transaksi yang mencurigakan. Lebih jauh lagi, sistem audit berbasis teknologi dapat membantu dalam meningkatkan akurasi serta efisiensi dalam mengidentifikasi potensi penipuan.
Akan tetapi, teknologi saja tidak cukup untuk pencegahan penipuan. Perusahaan harus menumbuhkan budaya integritas yang kuat di semua tingkatan organisasi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip ‘tone at the top’ yang menekankan bahwa komitmen terhadap kepatuhan hukum harus berasal dari manajemen puncak.
Laporan EY mengidentifikasi kurangnya arahan yang jelas dari manajemen senior sebagai salah satu kontributor utama perilaku penipuan. KUHP yang baru, melalui Pasal 49, menetapkan bahwa manajer yang gagal mencegah penipuan dapat menghadapi tanggung jawab pidana.
Sanksi berat yang diatur dalam KUHP baru memberikan penekanan kuat bagi perusahaan untuk meningkatkan sistem manajemen risiko. Sanksi ini tidak hanya mencakup denda dan pembatasan operasional, tetapi juga dapat melibatkan pembubaran korporasi dalam keadaan tertentu.
Lebih lanjut, Pasal 56 memberikan pedoman kepada hakim untuk menilai faktor-faktor seperti tingkat kerugian, keterlibatan manajemen, dan pengulangan tindak pidana saat menentukan sanksi bagi korporasi.
Pelaksanaan penilaian tata kelola dan kepatuhan yang efektif memerlukan kolaborasi antara perusahaan, regulator, dan pemangku kepentingan lainnya. Regulator seperti OJK, memainkan peran penting dalam memastikan bahwa perusahaan memahami dan mematuhi peraturan yang relevan.
Secara khusus, POJK No. 15 Tahun 2024 menekankan pentingnya menciptakan unit khusus yang bertanggung jawab untuk pencegahan penipuan, memastikan pelaporan keuangan yang akurat, dan menumbuhkan komitmen dari dewan komisaris dan direksi.
Selain regulasi, pelatihan dan pendidikan merupakan komponen cukup penting dalam pencegahan penipuan. Karyawan harus dibekali dengan pengetahuan tentang risiko penipuan, indikator aktivitas penipuan, dan saluran yang tepat untuk melaporkannya.
Laporan ACFE menyoroti bahwa pelatihan antipenipuan bagi manajemen dan staf merupakan salah satu strategi pencegahan yang paling efektif. Dengan pelatihan tersebut, karyawan menjadi lebih sadar akan tanggung jawab mereka dalam menegakkan integritas organisasi mereka.
Era KUHP baru menghadirkan peluang dan tantangan bagi lanskap bisnis di Indonesia. Perusahaan yang secara efektif menunjukkan komitmen terhadap tata kelola yang baik dan memanfaatkan teknologi untuk kepatuhan akan memperoleh keunggulan kompetitif.
Sebaliknya, perusahaan yang gagal beradaptasi dengan peraturan baru ini menghadapi akibat hukum yang cukup besar. Oleh karena itu, perusahaan harus memandang kepatuhan hukum sebagai investasi dalam keberlanjutan bisnis mereka, bukan sekadar kewajiban.