Bisnis.com, JAKARTA - Asa menjadikan perempuan sebagai Presiden AS lenyap ketika Donald Trump mengalahkan Kamala Harris untuk menjadi presiden ke-47 di Pilpres AS Rabu kemarin.
Lagi-lagi, setelah lebih dari 105 tahun setelah Amandemen ke-19 disahkan untuk melarang negara bagian menolak hak pilih perempuan, dan 59 tahun setelah Undang-Undang Hak Pilih disahkan untuk memastikan bahwa semua perempuan kulit hitam dan orang lain dapat menggunakan hak tersebut, warga Amerika kembali gagal mengirim seorang perempuan ke Gedung Putih.
Ini sekaligus menghancurkan impian para pemilih yang berharap agar Harris dapat membuat sejarah menjadi perempuan pertama yang menjadi Presiden AS.
Kamala Harris menjadi perempuan kedua di AS yang gagal mendobrak batasan gender untuk menjadi presiden, sekaligus menjadi perempuan kedua yang dikalahkan oleh Donald J. Trump. Sebelumnya, Hillary Clinton telah lebih dulu kalah dari Trump pada Pilpres AS 2016.
Kekalahan Harris membuat Amerika Serikat berada dalam kategori yang sama dengan kebanyakan negara lain di dunia, dimana hanya 7 persen dari 193 negara yang tergabung dalam PBB yang memiliki perempuan sebagai kepala pemerintahannya. Hanya 30 persen dari mereka yang pernah memiliki pemimpin perempuan.
Saat menyampaikan pidato konsesinya di Universitas Howard, Harris tidak berbicara tentang kegagalannya dalam hal gender atau ras. Sebaliknya, Harris berbicara langsung kepada para pemilih muda yang berkumpul untuk menemuinya.
Baca Juga
“Jangan pernah berhenti berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, Anda punya kekuatan,” kata Harris dilansir dari Newyorkpost.
Kemenangan Trump, menjadi bukti praktik memilih seseorang untuk menduduki jabatan tertinggi di AS masih belum terpecahkan setelah lebih dari 200 tahun.
Dilansir dari washingtonpost, jajak pendapat menunjukkan adanya kesenjangan gender yang besar dalam dukungan terhadap kedua kandidat tersebut, dimana perempuan mendukung Harris dengan selisih 10 poin dan laki-laki mendukung Trump dengan jumlah yang sama namun selisihnya sedikit lebih kecil dibandingkan pemilu tahun 2020 dan 2016.
Selama kampanye, kedua kandidat mengadopsi pendekatan yang sangat berbeda terhadap persoalan gender.
Berbeda dengan Hillary Clinton pada tahun 2016, Harris meremehkan sifat luar biasa dari pencalonannya, yang bisa menjadikannya bukan hanya perempuan pertama yang duduk di Ruang Oval namun juga perempuan kulit hitam dan Asia Selatan pertama yang memegang jabatan tersebut.
Sementara itu, Trump menjalankan kampanyenya dengan menggunakan retorika dominan yang menampilkan kekuatan dan kehebatan maskulin. Pada hari-hari terakhir kampanyenya, Trump menyatakan bahwa akan melindungi perempuan, “baik perempuan menyukainya atau tidak.”
Penelitian ilmuwan politik
Nicholas Valentino, seorang ilmuwan politik di Universitas Michigan bersama rekannya Carly Wayne dan Marzia Oceano mempelajari sikap pemilih pada pemilu 2016.
Mereka menemukan sesuatu yang tidak biasa yang tidak terjadi dalam tiga pemilihan presiden sebelumnya.
Dari hasil penelitian mereka mengungkapkan, orang-orang yang mendapat skor lebih tinggi pada indeks sikap yang agak seksis termasuk dorongan untuk kesetaraan gender yang berlebihan lebih cenderung memilih Trump, bahkan mengendalikan Trump. Ini menjadi variabel seperti keberpihakan dan ideologi.
Pada kampanye tahun 2024, “Harris tidak memainkan peran gender; Trump melakukannya,” kata Susan Faludi, penulis feminis terkemuka “Backlash,” sebuah buku tentang reaksi balasan terhadap kemajuan hak-hak perempuan.
Dia menilai Harris “sangat sempurna” selama kampanye singkatnya, sehingga membuat kekalahannya “jauh lebih buruk bagi generasi calon politisi perempuan di masa depan.”
Padahal Harris tidak harus melewati serangkaian pemilihan pendahuluan yang panjang seperti halnya sistem parlementer. Ini merupakan sebuah proses yang terbukti menjadi penghalang bagi perempuan untuk mendapatkan jabatan tertinggi.
Sementara itu, Jackson Katz, pembuat film dan penulis yang pernah menulis tentang politik maskulinitas mengatakan presiden memegang peran yang terkait dengan identitas nasional dengan cara yang secara tradisional maskulin sebagai komandan pasukan militer AS, dan kepala keluarga pertama, sehingga mempersulit perempuan mana pun untuk mencoba mendobrak kebiasaan tersebut.
Katz memuji Harris karena berhasil memecahkan salah satu teka-teki yang dihadapi perempuan dalam upaya memimpin di Amerika Serikat, kebutuhan untuk menunjukkan kekuatan dan kesukaan.
Kekalahan Harris dapat menimbulkan konsekuensi besar bagi pemilu di masa depan, kata beberapa pakar.
Diana O’Brien, seorang ilmuwan politik di Universitas Washington di St. Louis, khawatir bahwa kemenangan Trump atas Clinton dan Harris dapat membuat Partai Demokrat “meyakinkan diri mereka sendiri bahwa perempuan tidak bisa menang,” katanya.
Ruth Simmons, mantan rektor Brown University, wanita pertama yang memimpin institusi tersebut dan orang kulit hitam pertama yang memimpin sekolah Ivy League mengatakan kekalahan Harris tidak menunjukkan kesiapan masyarakat Amerika untuk memilih perempuan, melainkan kesediaan mereka untuk mengabaikan kelemahan Trump.
“Kekhawatiran terbesar saya adalah negara ini dan banyaknya orang yang tidak peduli terhadap persyaratan jabatan tertinggi di negeri ini,” kata Simmons.
Kemenangan Trump mungkin merupakan indikasi bahwa kampanyenya berhasil menumpulkan pentingnya hak-hak reproduksi, sebuah isu yang menyemangati pemilih tertentu dalam tiga pemilu nasional sebelumnya, atau setidaknya menjadikan hak-hak tersebut tidak menjadi prioritas utama bagi sebagian besar pemilih.