Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Tuding Ada Kerja Paksa di Industri Nikel RI

AS menuding ada praktik kerja paksa dalam proses penghiliran nikel yang menjadi andalan Jokowi.
Salah satu pabrik pengolahan baja di Kawasan Industri Morowali/imip.co.id
Salah satu pabrik pengolahan baja di Kawasan Industri Morowali/imip.co.id

Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat menyoroti praktik kerja paksa yang terjadi dalam industri pengolahan nikel di Indonesia. Praktik tersebut dituding telah ‘mencemari’ rantai pasokan mineral penting. 

Seperti diketahui pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi cukup getol mendorong penghiliran nikel. Mereka menyetop ekspor bijih nikel sejak 2020 lalu. Sementara itu, fasilitas pemurnian nikel didirikan di sejumlah tempat mulai dari Sulawesi hingga Maluku Utara.

Adapun, tudingan tentang praktik kerja paksa di industri nikel Indonesia diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Deputi untuk Urusan Tenaga Kerja Internasional, Departemen Tenaga Kerja AS, Thea Lee, dalam Washington Foreign Press Center pada Kamis (5/9/2024). 

Sebagai informasi, Lee, dalam kesempatan tersebut mengungkapkan temuan dari laporan “Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Daftar Barang yang Diproduksi oleh Pekerja Anak atau Pekerja Paksa”. 

Adapun, negara Indonesia disebut kala Lee menjelaskan tren soal meningkatnya jumlah mineral penting yang diproduksi dengan menggunakan pekerja anak atau pekerja paksa

“Tren kedua yang ingin saya soroti adalah meningkatnya jumlah mineral penting yang diproduksi dengan menggunakan pekerja anak atau pekerja paksa.  Saat ini ada 12 dalam daftar,” tutur Lee. 

Awalnya, Lee menjelaskan praktik yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, Zambia, Zimbabwe, dan Bolivia menambang mineral-mineral penting seperti kobalt, tembaga, litium, mangan, tantalum, timah, tungsten, dan seng.  

Para pekerja anak atau pekerja paksa disebut bekerja keras di tambang-tambang dalam skala kecil yang tidak diatur dengan baik, melakukan tugas-tugas berbahaya seperti menggali terowongan, mengangkut beban berat, dan menangani zat-zat beracun.

Kemudian, hal serupa juga terjadi di Indonesia yakni dalam mineral kritis nikel. “Kerja paksa mencemari rantai pasokan mineral penting lainnya, termasuk aluminium dan polysilicon dari Cina, nikel dari Indonesia, dan lagi kobalt, tantalum, dan timah dari Republik Demokratik Kongo,” tutur Lee. 

Diungkapkan, bahwa para pekerja menghadapi berbagai pelanggaran. Hal ini meliputi kerja lembur yang berlebihan dan tidak disengaja, pekerjaan yang tidak aman, upah yang tidak dibayar, denda, pemecatan, ancaman kekerasan, dan jeratan utang.

Adapun, diinformasikan bahwa jejak global pekerja paksa dan pekerja anak telah meluas. Sejak 2022, daftar telah berkembang dari 159 barang di 78 negara, menjadi 204 barang di 82 negara dan wilayah.  

Ekspansi tersebut menyoroti bahwa upaya sektor publik dan swasta saat ini untuk mengatasi eksploitasi tenaga kerja tidak sejalan dengan tren manufaktur global yang terus berkembang, sehingga menempatkan para pekerja dalam risiko, eksploitasi anak, kerja paksa, atau penindasan karena mencoba untuk membentuk serikat pekerja. 

Adapun, berdasarkan laporan dari Mineral Commodity Summaries 2024, sang Tanah Air juga memiliki cadangan dan produksi nikel terbesar di dunia. 

Country

Reserves (tons)

Mine Production 2023 (tons)

Indonesia

55,000,000

1,800,000

Australia

24,000,000

160,000

Brazil

16,000,000

89,000

Russia

8,300,000

200,000

New Caledonia

7,100,000

230,000

Philippines

4,800,000

400,000

China

4,200,000

110,000

Canada

2,200,000

180,000

United States

340,000

17,000

Other countries

9,100,000+

380,000

World total

>130,000,000

3,600,000

Sumber: Mineral Commodity Summaries 2024, U.S. Geological Survey, diolah oleh Bisnis 

Kala membahas mengenai Solusi, dalam kesempatan yang sama, Marcia Eugenio, Direktur Kantor Pekerja Anak, Pekerja Paksa, dan Perdagangan Manusia (OCFT) membahas bahwa hal yang dapat direkomendasikan adalah berfokus pada peningkatan legislasi, penegakan hukum dan perlindungan sosial. 

Namun, hal tersebut kembali pada akuntabilitas dan meminta pertanggung jawaban dari pihak-pihak yang memang melakukan eksploitasi. 

“Dalam banyak kasus, itu adalah perusahaan yang benar-benar mendapatkan keuntungan dari eksploitasi anak-anak dan orang dewasa yang rentan,” tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper