Bisnis.com, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan dugaan korupsi pengadaan gas air mata di Polri 2022-2023 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Koalisi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukumm (LBH) Pers, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, itu mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (2/9/2024).
Pengaduan masyarakat itu merupakan hasil temuan dugaan korupsi yang diduga melibatkan Polri. Laporan itu disampaikan ke KPK karena dinilai berwenang untuk menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum.
Pelapor menduga ada penyimpangan berupa persekongkolan dalam pengadaan gas air mata yang mengarah kepada merek tertentu. Tidak hanya itu, pelapor menduga ada indikasi penggelembungan harga (mark up) dalam pengadaan pepper projectile launcher tahun anggaran (TA) 2022-2023.
"Dugaan indikasi mark up-nya ini mencapai sekitar Rp26 miliar," kata Koordinator ICW Agus Sunaryanto kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (2/9/2024).
Selain adanya temuan, laporan dugaan korupsi itu turut sejalan dengan keprihatinan pelapor soal penggunaan gas air mata pada aksi unjuk rasa penolakan revisi UU Pilkada beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Agus berharap agar KPK berani untuk menangani kasus yang diduga melibatkan penegak hukum itu. Apalagi, kasus itu dinilai tidak terlalu sulit ditangani karena begitu banyak informasi yang bisa diakses secara terbuka.
Pada kesempatan yang sama, Direktur YLBHI Muhammad Isnur menyebut hasil pihaknya sudah meminta klarifikasi ke Polri atas hasil temuan tersebut. Namun, lanjutnya, Korps Bhayangkara tidak kunjung memberikan jawaban.
Isnur lalu menyoroti bahwa penggunaan gas air mata di lapangan seharusnya tidak boleh lagi dilakukan. Menurutnya, negara lain sudah banyak melarangnya. Di Indonesia, dia pun menyebut tidak pernah ada audit dalam hal penggunaan gas air mata itu.
"Dan yang namanya kasus ini berdampak pada kematian. Kita masih ingat di Kanjuruhan, kita masih ingat di Rempang kena anak sekolah, kemarin di Semarang kena masjid kena sekolah. Jadi dari konteks di mana ini digunakan memberangus kebebasan berekspresi sangat berbahaya dan bahkan membahayakan nyawa," tuturnya.