Bisnis.com, JAKARTA – Golput atau golongan putih adalah istilah yang kerap digunakan untuk sikap tidak memilih dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Meskipun dihubungkan dengan sikap apatis dan tidak mau ikut campur politik, tetapi sebenarnya golput adalah gerakan politik juga.
Melansir Pusat Edukasi Antikorupsi, pada Pemilu 2024, pemilih muda melebihi setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, CSIS menyebar survei untuk pemilu 2024 dan ditemukan bahwa 11,8% responden memilih untuk golput.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik, angka tersebut jauh lebih rendah daripada tingkat pemilih golput pada Pemilu 2019, yaitu 18,02% dari total pemilih atau sebanyak 34,75 juta jiwa. Sementara itu, 2014 mencatat tingkat tertinggi golput dalam pemilu, yaitu 30,22% atau 58,61 juta orang.
Sejarah Golput
Istilah golput mulai populer pada masa Orde Baru. Tahun 1971, sekelompok mahasiswa berkumpul dan memanggil diri mereka “Golongan Putih”. Di antara mahasiswa tersebut adalah Adnan Buyung Nasution dan Soe Hok Djin alias Arief Budiman.
Mengutip Arief Budiman, golongan putih terbentuk karena merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah yang ada saat itu–yaitu pemerintah Orde Baru.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa golput muncul dari moral dan nurani masyarakat, tidak hanya sebagai sikap tidak peduli terhadap negara saja.
Hal tersebut juga disebutkan oleh Megawati Soekarnoputri–presiden Republik Indonesia ke-5–pada 23 Mei 1997.
Sebagai oposisi pemerintahan saat itu, Megawati mengumumkan tidak akan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum 1997. Kemudian, dia mendorong masyarakat untuk menggunakan hati nurani ketika memilih pemimpin.
Pilihan golput ini menjadi topik pembicaraan yang hangat, tetapi bukan hal yang dihiraukan oleh partai politik lain, menurut arsip AP.
Tokoh nasional yang secara terang-terangan pernah melakukan golput sebagai bentuk perlawanan adalah Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Gus Dur adalah pemimpin organisasi Nahdlatul Ulama selama 1984–1999, kemudian menjadi presiden Republik Indonesia ke-5 pada 1999–2001.
Dalam masa pasca kepresidenannya, Gus Dur menyatakan golput pada putaran kedua pemilihan umum 2004. Dia menyatakan alasan pilihan ini dalam situs resmi Gus Dur yang diunggah pada 10 September 2004.
Menurutnya, KPU melakukan kecurangan, pemihakan, dan manipulasi dalam proses pra-pemilihan umum. Baginya, sistem hukum “sedang dikuasai oleh mafia peradilan”. Gus Dur pun memilih untuk golput dalam pemilu dan mempraktikkan haknya sebagai warga negara Indonesia.
Sebagai informasi, Gus Dur kembali menjadi bakal calon presiden usungan PKB pada pemilu 2004. Namun, dia tidak diloloskan tes kesehatan yang diselenggarakan untuk memastikan kesehatan jasmani dan rohani calon presiden-wakil presiden.(Ilma Rayhana)