Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus sebanyak 12 pegawai di lingkungan PT PLN (Persero) turut menerima aliran dana kasus dugaan korupsi pengadaan retrofit sistem sootblowing PLTU Bukit Asam 2017-2022.
KPK mengungkap satu dari 12 orang pegawai PLN dimaksud telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Dia adalah Manajer Engineering PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatra Bagian Selatan (UIK SBS) Budi Widi Asmoro (BWA).
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur mengungkap dugaan aliran dana itu ditemukan saat proses penyidikan. Ke depan, lembaga antirasuah akan mendalami peran masing-masing 12 orang penerima aliran dana itu serta keterkaitanya dengan kasus yang ditangani KPK.
"Jadi, dia tugasnya seperti apa, kemudian juga nanti uang itu apakah ini memang ada kaitannya dengan proses pengadaan ini atau ini lain. Maksudnya lain itu misalkan uang yang dikumpulkan oleh tiga orang di belakang ini (tersangka) mengalir ke orang tersebut, apakah itu nanti dalam perkara pidana tidak pidana korupsi atau dalam hal lain," ujarnya, dikutip Rabu (10/7/2024).
Asep tidak menutup kemungkinan aliran dana yang sudah diendus KPK itu bisa jadi tidak terkait dengan tindak pidana korupsi.
Meski demikian, pihaknya sudah mengidentifikasi salah satu aliran dana yany bersumber dari nilai korupsi proyek pengadaan retrofit sistem sootblowing tersebut senilai Rp25 miliar. Aliran dana yang sudah ditemukan tercatat sebesar Rp6 miliar dan sudah dikembalikan ke rekening KPK oleh tersangka BWA.
Baca Juga
"Sudah kita identifikasi ini salah satunya dari sekitar Rp25 miliar ini ada sekitar Rp6 miliar yang sudah mengalir ke beberapa pegawai PLN yang ada di sana. Jadi, nanti masing-masing orang si penerima ini, ini dalam rangka apa, itu yang akan kita dalami," jelas Asep.
Berikut 12 aliran dana yang sudah ditemukan KPK :
1. BWA (ditetapkan tersangka) menerima sekurang-kurangnya Rp750 Juta. Selain itu terdapat uang sejumlah Rp6 miliar yang telah disetorkan ke rekening penampungan perkara KPK atas penerimaan gratifikasi BWA selama dari 2015 hingga 2018 saat menjabat Senior Manager Engineering UIK SBS;
2. ME selaku Deputi Manager Engineering menerima Rp75 Juta.
3. FDPH selaku Staf Engineering menerima Rp10 Juta.
4. H selaku Pejabat Pelaksana Pengadaan menerima Rp100 Juta.
5. R selaku Pejabat Pelaksana Pengadaan menerima Rp65 Juta.
6. NZ selaku Pelaksana Pengadaan menerima Rp60 Juta.
7. FS selaku Pejabat Perencana Pengadaan) menerima Rp75 Juta.
8. W selaku Penerima Barang menerima Rp10 Juta.
9. RS selaku Penerima Barang menerima Rp10 Juta.
10. N selaku Penerima Barang menerima Rp10 Juta.
11. RT selaku Penerima Barang menerima Rp5 Juta.
12. AF selaku Penerima Barang menerima Rp2 Juta.
Kerugian Negara
Adapun KPK telah menahan tiga orang tersangka dalam kasus tersebut. Mereka adalah Manajer Engineering PLN Unit Induk Pembangkitan Sumbagsel Budi Widi Asmoro (BWA), General Manager PLN Unit Induk Pembangkitan Sumbagsel Bambang Anggono (BA) dan Direktur PT Truba Engineering Indonesia (TEI) Nehemia Indrajaya (NI).
Awalnya, proyek pengadaan retrofit sistem sootblowing untuk PLTU Bukit Asam itu disetujui pada 2018. Anggaran yang disetujui oleh PLN UIK SBS saat itu yakni Rp52 miliar.
Tidak lama setelah itu, tersangka NI dan BWA bertemu dengan sejumlah pihak di antaranya Direktur PT Austindo Prima Jaya Abadi (APJA) Erik Ratiawan (ER) selaku agen produk Clyde Bergemann, Deputi Manager Engineering PLN UIK SBS Mustika Efendi (ME), serta Asisten Engineer Reverse dan Rekayasa Divisi Enjinering Fritz Daniel Pardomuan Hasugian (FDPH). Mereka bertemu dan membahas mengenai teknis material suplai dan harga penawaran sootblower untuk rencana pekerjaan Retrofit Sistem Sootblowing.
NI lalu ditunjuk oleh BWA sedari awal sebagai calon pelaksana pekerjaan tersebut. Dia juga menyiapkan spesifikasi teknis produk dan harga penawaran yang akan digunakan sebagai dasar pengadaan. Spesifikas teknis sootblower Type Blower F149 dengan Harga Penawaran sebesar Rp52 miliar itu lalu dikirimkan NI kepada BWA, jajaran Divisi Engineering PT PLN UIK SBS serta pihak PLTU Bukit Asam.
Selanjutnya, PLTU Bukit Asam membuat Kajian Kelayakan Proyek (KKP) sebagai dokumen dasar proses pengadaan. Dokumen itu dibuat dengan tanggal mundur atau back date menjadi 2017.
Sebelum proses pengadaan dimulai pada sekitar Juli 2018, NI dan BWA menyepakati penambahan harga pengadaan sekitar Rp25 Miliar dari penawaran awal yakni Rp52 Miliar. BWA, ME dan FDPH lalu menyepakati skema penambahan harga/anggaran pekerjaan dilakukan dengan seolah-olah terdapat penambahan/perubahan spesifikasi teknis produk jenis sootblower. Caranya, dengan membuat/merubah dokumen KKP sebelumnya dengan tanggal backdate 2017 dengan Spesifikasi Teknis Sootblower Type Berbeda dengan yang eksisting yaitu Type Smart Canon dan dengan Harga Penawaran harga yang sama sebesar Rp52 miliar.
Pada Agustus 2018, penambahan anggaran pengadaan sootblower sebesar Rp25 miliar itu disetujui dengan dasar seolah-olah terdapat perubahan spesifikasi teknis sootblower dari Type Smart Canon ke Type F149 (eksisting) sehingga terbit SKAI No.4407/KEU.01.01/DIR/2018. Nilai pengadaan secara final menjadi sekitar Rp74,9 miliar.
Proses lelang lalu dilakukan pada Oktober-November 2018 dengan perusahaan milik NI yaitu PT TEI ditetapkan pemenang. Satu peserta lelang lain yakni PT Haga Jaya Mandiri (HJM) juga sebenarnya dimiliki oleh manajemen yang sama.
Adapun keterangan ahli menunjukkan bahwa terdapat indikasi kemahalan harga sebesar 135% dari Rp74,9 Miliar. Biaya asli atau real cost dari pengadaan sootblower oleh PT TEI itu sekitar Rp50 Miliar.
"Saat ini Auditor sedang merampungkan proses perhitungan final besaran kerugian negara dari perkara tersebut. Kerugian negara yang timbul kurang lebih sekitar Rp25 miliar," papar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada konferensi pers.
Atas perbuatannya, ketiga Tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.