Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Tajilkistan akhirnya secara resmi melarang warganya memakai jilbab, setelah bertahun-tahun melakukan pembatasan tidak resmi.
RUU tersebut disahkan oleh majelis rendah Parlemen (Majlisi Namoyandagon) pada tanggal 8 Mei, dan disetujui oleh majelis tinggi (Majlisi Milli) pada tanggal 19 Juni, atau tepatnya setelah perayaan Idul Fitri.
Langkah ini menjadi landasan hukum pada pernyataan Presiden Emomali Rahmon yang menyebut hijab sebagai “pakaian asing”.
Dilansir dari Indianexpress, Undang-undang ini mengubah undang-undang ‘Tentang Peraturan Hari Raya dan Upacara’ yang ada dan melarang “impor, penjualan, promosi, dan pemakaian pakaian yang dianggap asing bagi budaya nasional”.
Inti dari perubahan ini adalah larangan hijab, penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim, serta pakaian lain yang berhubungan dengan Islam.
Pelanggaran dapat dikenakan denda mulai dari 7.920 somoni ($747) untuk pelanggar individu hingga 39.500 somoni ($3.724) menurut Layanan Tajik Radio Liberty.
Baca Juga
RUU tersebut juga melarang Idul Fitri, kebiasaan anak-anak diberi uang pada saat Idul Fitri dan Navroz, serta perayaan menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.
Alasan pelarangan
Lantas mengapa negara tersebut melarang pemakaian hijab? Padahal, diketahui jika 98% penduduknya adalah muslim.
Dilansir dari Morrocoworldnews, Tajikistan dilanda masuknya pakaian Islami dari Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir, yang dianggap pihak berwenang terkait dengan ekstremisme dan ancaman terhadap identitas budaya negara tersebut.
Dalam pidatonya di bulan Maret, Presiden Emomali Rahmon menyebut hijab sebagai “pakaian asing.”
Pemerintah telah lama mempromosikan pakaian tradisional nasional Tajikistan sebagai alternatif.
Sementara itu, mengutip firstpost, berdasarkan siaran pers presiden Tajik, alasan pelarangan bertujuan untuk “melindungi nilai-nilai leluhur dan budaya nasional”.
Menurut Presiden Emomali Rahmon, yang memimpin pemerintahan sekuler, larangan hijab adalah upaya untuk melindungi apa yang dianggapnya sebagai budaya “Tajiki” dan meminimalkan visibilitas religiusitas publik. Hal ini sangat terkait dengan politik dan cengkeraman kekuasaannya.
Padahal, pakaian Tajiki berwarna-warni dan dibordir serta diadaptasi dari gaya pakaian Persia.
Bahkan sebelum pelarangan diberlakukan, pemerintah telah bekerja keras untuk mempromosikan budaya dan cara berpakaian Tajiki.
Pada bulan September 2017, pemerintah memberikan pesan mendesak pada warganya untuk mengenakan pakaian nasional Tajikistan.
Pesan-pesan tersebut berbunyi: “Mengenakan pakaian nasional adalah suatu keharusan!”, “Hormati pakaian nasional,” dan “Mari kita jadikan tradisi yang baik dalam mengenakan pakaian nasional.”.
Tajikistan telah menerapkan beberapa pembatasan dalam hal berpakaian dan berpenampilan. Pada tahun 2007, kementerian pendidikan Tajik melarang pakaian Islami dan rok mini gaya Barat untuk siswa. Larangan itu akhirnya diperluas ke semua lembaga publik.
Menariknya, Presiden Rahmon memulai kampanyenya melawan jilbab pada tahun 2015, ketika ia menyebut jilbab sebagai “tanda buruknya pendidikan.”
Pada tahun 2018, pemerintah juga mengeluarkan manual setebal 376 halaman, berjudul ‘Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan’, yang menguraikan apa yang harus dikenakan wanita di negara tersebut untuk berbagai kesempatan.
Daftar tersebut menguraikan bahan, panjang dan bentuk balutan yang dapat diterima. Undang-undang ini juga melarang pakaian hitam di pemakaman; sebaliknya mereka merekomendasikan pakaian biru dengan jilbab putih untuk acara-acara seperti itu.
Organisasi hak asasi manusia mengkritik larangan hijab di Tajikistan sebagai pelanggaran kebebasan beragama. Dengan lebih dari 98% populasi Muslim, undang-undang tersebut kemungkinan akan menghadapi penolakan yang signifikan dari masyarakat Tajikistan ketika undang-undang tersebut mulai berlaku.