Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah China menyoroti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Amerika Serikat sepanjang 2023. Pekan lalu, Kantor Informasi Dewan Negara Republik Rakyat China merilis laporan tentang pelanggaran HAM di Negeri di AS.
Laporan tersebut membeberkan sejumlah pelanggaran HAM di AS, mulai dari diskriminasi ras, etnis, pengekangan kebebasan bersuara, manipulasi hingga perlakuan tidak manusiawi terhadap migran di perbatasan, dan lain-lain.
Dalam laporan tersebut, situasi HAM di AS disebut terus memburuk pada tahun 2023 dan menjadi semakin terpolarisasi. Meskipun kelompok minoritas yang berkuasa memegang dominasi politik, ekonomi, dan sosial, mayoritas masyarakat semakin terpinggirkan, hak-hak dasar dan kebebasan mereka diabaikan.
”Kekerasan bersenjata meluas, sementara kebijakan pengendalian pemerintah tidak efektif,” tulis laporan tersebut seperti dikutip Xinhua, Senin (10/6/2024).
China menemukan lebih dari 654 penembakan massal di AS pada 2023, sementara 43.000 orang tewas akibat kekerasan senjata dengan rata-rata 117 kematian per hari.
Pelanggaran HAM ini didorong oleh polarisasi partisan dan kelompok kepentingan, semakin banyak pemerintah negara bagian yang mengambil inisiatif untuk mendorong undang-undang yang memperluas hak penduduk untuk memiliki dan menggunakan senjata.
Baca Juga
Pada tahun 2023, hanya 27 negara bagian tidak mewajibkan izin untuk membawa pistol.
Selaihn itu, laporan ini menyoroti kebebasan bersuara dan rasisme. Disebutkan bahwa pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memantau privasi warga negara, menekan kebebasan berbicara dan berekspresi.
FBI mengalihkan Pasal 702 Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing untuk melakukan pengawasan dalam negeri, pemantauan yang "terus-menerus dan meluas" terhadap komunikasi anggota Kongres, donor kampanye kongres, dan pengunjuk rasa anti-rasis.
”Semakin banyak negara bagian yang mengeluarkan undang-undang yang melarang sekolah negeri menggunakan materi dan buku pendidikan yang membahas topik tertentu seperti ras, sejarah, dan gender,” tulis laporan itu.
Jumlah dosen yang dihukum atau dipecat karena berbicara dan berekspresi di kampus-kampus AS juga mencapai angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Laporan ini juga mencatat korban yang timbul akibat kebrutalan polisi. Kekerasan oleh polisi dilaporkan menyebabkan 1.247 kematian, rata-rata sekitar tiga orang dibunuh oleh petugas setiap hari.
Maraknya kolusi juga menjadi persoalan. Departemen Dalam Negeri seringkali lebih tertarik untuk membebaskan koleganya dari tuduhan daripada menyelidiki pelanggaran, sehingga menyulitkan polisi untuk dimintai pertanggungjawaban, dan lebih dari separuh pembunuhan yang dilakukan polisi diberi label sebagai pembunuhan umum atau bunuh diri dalam database statistik kematian resmi CDC.
Laporan Kantor Informasi Dewan Negara Republik Rakyat China menyebutkan permasalahan utama mengenai penahanan massal dan kerja paksa menjadikan negara ini sebagai "negara penjara". AS adalah rumah bagi 5 persen populasi dunia, namun juga menampung 25 persen tahanan dunia, sehingga menjadikannya negara dengan tingkat pemenjaraan tertinggi dan jumlah orang yang dipenjara terbesar secara global.
”Penjara memaksa narapidana untuk bekerja dengan upah rendah atau tanpa bayaran, tanpa tunjangan, sambil menghasilkan barang dan jasa senilai miliaran dolar setiap tahunnya,” tulis laporan.
Masalah politik juga menjadi sorotan. Dua Partai AS, Partai Demokrat dan Partai Republik, disebut terus memanipulasi pemilu.
Pada hari pembukaan Kongres AS ke-118 pada bulan Januari 2023, DPR AS menghadapi Krisis Pembicara, dan tahun 2023 merupakan titik terendah bagi produktivitas Kongres sejak Perang Saudara Amerika.
”Kedua partai terus mengubah cara mereka memanipulasi dan mendistorsi opini publik demi kepentingan partai. Terdapat 16 negara bagian yang mengalami manipulasi signifikan terhadap batasan-batasan di dalam distrik kongres, dan 12 di antaranya merupakan negara bagian yang mengalami manipulasi serius terhadap distrik kongres secara keseluruhan,” tulisnya.
Lebih lanjut, laporan ini juga mencatat kekecewaan warga dengan pemerintahan Federal, diskriminasi terhadap etnis minoritas, termasuk oleh pejabat tkepolisian, serta penindasan budaya penduduk asli Amerika.
Tidak hanya itu, laporan tersebut mencatat AS telah menyebabkan 4,5 juta hingga 4,7 juga korban tewas di seluruh dunia dengan operasi “kontra-terorisme” di luar negeri.
”Militer AS melanggar kedaulatan dan hak asasi manusia negara lain melalui program pasukan proksi dan terus memberikan senjata ke zona konflik, sehingga mengakibatkan banyak korban sipil,” tulis laporan tersebut.