Bisnis.com, JAKARTA – Polemik uang kuliah tunggal (UKT) mahal disinyalir berkaitan dengan kewenangan Perguruan Tinggi ber-Badan Hukum (PTN-BH) dalam mengelola aset dan keuangnnya.
Hal itu disampaikan oleh pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan
Dalam Undang-undang (UU) No. 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, PTN-BH memungkinkan kampus memiliki otonomi lebih dalam mengelola aset dan keuangannya dibandingkan PTN badan layanan umum (BLU). Namun, subsidi dana pendidikan dari pemerintah juga dikurangi.
“PTN-BH yang menjanjikan fleksibilitas keuangan kampus dibarengi dengan pengurangan subsidi dari pemerintah menjadi kisaran 30% saja atau bahkan kurang dari itu,” katanya saat dihubungi Bisnis, Sabtu (25/5/2024).
Akibatnya, menurut Edi, kampus harus mencari sumber pemasukan lainnya untuk menutup biaya operasional dan pengembangan kampus.
Hal ini sejalan dengan pemberian kewenangan bahwa PTN-BH dapat menentukan tarif dan standard biayanya sendiri.
Baca Juga
“Paling mudah tentu dengan menaikkan UKT dan uang sumbangan,” sambungnya.
Edi berpendapat, pemerintah mesti berhitung dengan cermat mengenai hal ini. Menurutnya, jika hendak berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan tinggi, maka wajib hukumnya bagi PTN agar dapat dijangkau semua kalangan, termasuk menengah ke bawah.
Dengan demikian, begitu menamatkan pendidikan, para sarjana tersebut akan mampu menjadi tenaga kerja kompeten atau menjalani usaha mandiri. Hal itu akan berdampak kepada meningkatnya taraf perekonomian.
“Atau pemerintah memilih membiarkan UKT tinggi di PTN, kemudian menyerahkannya pada mekanisme pasar, yang akhirnya ditangkap oleh dunia perbankan, pinjol [pinjaman online], bahkan rentenir,” pungkas Edi.
Seperti diketahui, beberapa perguruan tinggi di Indonesia mendapatkan protes dari para mahasiswanya lantaran disinyalir mengalami lonjakan pembayaran UKT yang tidak wajar.
Buntut dari hal itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dipanggil ke Komisi X DPR RI untuk melakukan rapat kerja terkait polemik tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan bahwa pihaknya akan turun ke lapangan untuk mengevaluasi kenaikan UKT yang tidak wajar.
Dia mengatakan bahwa implementasi kebijakan mengenai UKT yang selama ini telah berjalan masih perlu disempurnakan.
"Kami akan turun ke lapangan, kami akan mengevaluasi kembali, pertama kenaikan kenaikan yang tidak wajar. Itu yang akan kami evaluasi," katanya, di Komisi X DPR RI, Selasa (21/5/2024).