Bisnis.com, JAKARTA — Gerhana matahari hibrida merupakan fenomena astronomi yang tergolong unik. Fenomena ini menjadi satu ragam di antara jenis gerhana matahari yang dapat diamati dari sejumlah daerah tertentu.
Dilansir laman resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia sendiri, sudah mengalami gerhana matahari beberapa kali yaitu gerhana matahari total pada 1983 dan 2016 serta gerhana matahari cincin pada 2019.
Pada 2023, tepatnya 20 April, beberapa daerah di Indonesia juga dapat mengamati fenomena gerhana matahari hibrida. Selanjutnya, pada 25 Maret 2024, sejumlah area di Tanah Air juga bisa mengamati gerhana bulan penumbra.
Lantas apa itu gerhana matahari hibrida? Apa yang membedakan fenomena gerhana matahari hibrida? Dan apa ciri gerhana matahari hibrida?
Melalui keterangan di laman resminya, BRIN mengungkapkan bahwa gerhana jenis ini tergolong unik karena sebagian wilayah yang dilalui jalur gerhana akan mengalami gerhana matahari total, sedangkan sejumlah area lainnya mengalami gerhana matahari cincin.
Dengan kata lain, gerhana matahari hibrida adalah fenomena gerhana matahari yang tampak dari sebagian wilayah bumi sebagai gerhana matahari total, tetapi di daerah lainnya tampak sebagai gerhana matahari cincin.
Baca Juga
Gerhana matahari hibrida disebabkan oleh berubahnya jarak antara permukaan bumi yang melengkung dengan bulan sebagai objek yang menghalangi matahari saat terjadinya fenomena astronomi tersebut. Artinya, fenomena gerhana matahari hibrida disebabkan oleh kelengkungan bumi.
DAMPAK GERHANA MATAHARI HIBRIDA
Gerhana matahari hibrida yang terjadi pada 20 April 2023 dan dapat diamati di sebagian wilayah Indonesia berlangsung selama 3 jam 5 menit mulai dari durasi kontak awal hingga akhir jika diamati dari Biak dengan durasi fase tertutup total 58 detik.
Sementara itu jika diamati dari Jakarta, durasi dari kontak awal hingga akhir gerhana matahari hibrida pada tahun lalu itu terjadi selama 2 jam 37 menit. Namun jika diamati dari Jakarta, persentase tertutupnya matahari hanya sebesar 39%.
Pada peristiwa tersebut, BRIN melakukan sejumlah penelitian matahari. Pertama, melakukan prediksi penampakan korona dengan memanfaatkan teknologi artificial intelligence, serta analisis bentuk korona untuk mengetahui fase aktivitas matahari.
Kedua, BRIN melakukan penelitian ionosfer yang mana akan meneliti dampak gerhana matahari terhadap kondisi ionosfer di Indonesia. Ketiga adalah melakukan penelitian geomagnet yaitu meneliti dampak gerhana terhadap aktivitas geomagnet.
Ketiga penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dampak gerhana yang dapat berpengaruh pada teknologi-teknologi di bumi yang berbasis teknologi antariksa seperti navigasi dan telekomunikasi.