Bisnis.com, JAKARTA - Pemilihan presiden di Indonesia sudah usai, pemenagnya pun sudah mulai kelihatan meskipun belum muncul pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum.
Prabowo Subianto, yang berpasangan dengan anak Presiden Jokowi, hampir bisa dipastikan akan menjadi presiden pengganti Jokowi.
Banyak pihak mengkha-watirkan wajah demokrasi Indonesia ke depan di bawah kepemimpinan Prabowo. Rekam jejak Prabowo dalam Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah satu sebabnya.
Namun, media massa dan pengamat itu lebih fokus menyorot isu HAM dari sisi hak sipil dan politik. Belum banyak yang menyoroti masa depan Indonesia dalam kaca mata hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob).
Salah satu hak ekosob itu adalah hak atas lingkungan hidup. Sementara itu, isu lingkungan hidup yang sekarang menjadi per-hatian masyarakat dunia adalah krisis iklim.
Untuk mengetahui arah kebijakan krisis iklim rezim Prabowo-Gibran, paling tidak kita harus memperhatikan tiga hal. Pertama, dari sisi rekam jejak. Menurut penelitian Jaringan Advoskasi Tambang (Jatam), Prabowo Subianto memiliki bisnis di sektor tambang batu bara dan perkebunan sawit.
Baca Juga
Bukan hanya memiliki pertambangan batu bara. Prabowo juga mendapat dukungan dari para pemilik modal di sektor energi fosil termasuk batu bara. Kedua, agenda Prabowo Subianto terkait krisis iklim yang ada di dokumen visi dan misinya.
Dalam dokumen visi dan misinya, pasangan Prabowo-Gibran mengemukakan akan mem-prioritaskan energi hijau yang berasal dari sawit. Energi hijau berbasis sawit ini sangat problematik.
Agenda ini akan berpotensi mendorong ekspansi sawit dalam hutan. Angka deforestasi pun dipastikan akan meningkat. Ketiga, pernyataan-pernyataan politik Prabowo Subianto terkait model pembangunan ke depan. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo mengungkapkan akan melanjutkan model Pembangunan Presiden Jokowi.
Model Pembangunan Jokowi, atau bisa disebut Jokowisme, adalah model Pembangunan tanpa memperhatikan etika lingkungan hidup. Model Pembangunan Jokowi didasarkan pada paradigma Antroposentrisme.
Paradigma ini memandang bahwa manusia pusat dari segalanya. Kelestarian alam bisa dikorbankan bila berlawanan dengan kepentingan manusia.
Hal itu tampak dari proyek-proyek besar di era rezim Jokowi yang membahayakan alam. Salah satunya proyek itu adalah food estate. Proyek ini telah membuka hutan untuk ditanami singkong.
Celakanya, proyek itu gagal, sementara hutan sudah ter-lanjur rusak. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo dan Gibran secara terang-terangan justru akan melanjutkan proyek food estate yang merusak alam ini.
Bukan hanya food estate, proyek warisan Jokowi, yang akan dilanjutkan Prabowo Subianto.
Proyek solusi palsu transisi energi beru-pa Carbon Capture Storage (CCS) hampir pasti juga akan dilanjutkan. Padahal dari sisi lingkungan hidup, CCS justru akan memperpanjang penggunaan energi fosil.
Akibatnya, penggunaan teknologi CCS ini akan mengha-langi pengembangan energi terbarukan.Laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), juga mengungkapkan bahwa kemampuan CCS untuk memberikan pengurangan emisi yang berarti dalam dekade berikutnya sangatlah rendah, sementara biayanya akan sangat tinggi.
Dengan biaya yang tinggi itu, harus-nya investasinya langsung diarahkan ke pengembangan energi terbarukan.
Hampir dapat dipastikan dalam 5 tahun ke depan arah kebijakan krisis iklim rezim Prabowo-Gibran tidak berada dalam jalan yang benar. Berbagai solusi palsu transisi energi akan terus bermunculan ketika mereka berkuasa.
Tujuannya sederhana, untuk mempertahankan penggunaan energi fosil, utamanya yang berbasis batu bara. Konflik kepentingan Prabowo dengan dirinya sen-diri dan orang-orang di lingkaran mereka yang memiliki bisnis batu bara sangat sulit dihindarkan.Publik, sebagai pembayar pajak, tentu tidak boleh ting-gal diam atas situasi seperti ini.
Bila dilihat dari rekam jejaknya, program-program lingkungan hidupnya dan juga pernyataan politiknya, publik tidak bisa menunggu niat baik Prabowo untuk meluruskan arah kebijakan krisis iklimnya.
Publik harus begerak ber-sama mendesak pemerintah di bawah Prabowo untuk tidak melanjutkan model Pembangunan Jokowisme dan juga mengendalikan kepentingan diri dan ling-karan terdekatnya terkait akumulasi laba dari industri kotor energi fosil dan perke-bunan sawit yang berpotensi menghancurkan alam.
Tanpa desakan publik, Indonesia akan menjadi negara dengan penyum-bang emisi GRK terbesar di dunia. Jika itu yang terjadi berbagai bencana ekologi akibat krisis iklim akan lebih sering menghampiri umat manusia di dunia, termasuk Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah publik masih mempu-nyai keberanian untuk melu-ruskan kebijakan penangan-an krisis iklimnya Prabowo Subianto di saat kualitas demokrasi jutsru terus anjlok di Indonesia?
Perlu ada orang yang menyalakan lilin kecil di tengah kegelapan masa depan Indonesia dalam 5 tahun ke depan. Beranikah salah satu dari kita menyalakan lilin itu?