Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu topik yang mengemuka dalam debat ketiga Presiden dan Wakil Presiden terkait Kerjasama Selatan-Selatan (KSS). Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3 menegaskan bahwa kerjasama Selatan-Selatan sangat penting ketika berhadapan dengan negara maju.
Hal ini terbukti ketika kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia dipersoalkan Uni Eropa melalui World Trade Organization (WTO).
Ganjar menegaskan, negara-negara di Selatan punya kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Indonesia punya potensi yang hebat, karena memiliki sumber daya alam yang sama melimpah.
Mantan Gubernur Jawa Tengah ini menyebutkan, dengan sumber daya alam tersebut, Indonesia bisa bekerja sama dengan negara-negara Selatan dalam hal teknologi baterai. "Nikel kita miliki. Bauksit juga kita punya, kita bisa share dengan yang lain. Ada juga ltihium, umpamanya (kerjasama) dengan Argentina," lanjut Ganjar.
Dirinya menegaskan, dirinya tidak takut dengan ancaman negara-negara lain, terutama terkait hilirisasi mineral. Hilirisasi tersebut harus diperjuangkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat.
“Karena itu, penting untuk kita meredefinisi kembali politik bebas aktif. Artinya kita bebas menentukan kebijakan kita sesuai dengan kepentingan nasional. Kita ajak mereka yang selama ini berlawanan untuk investasi di sini. Kita punya kepentingan untuk pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja, dan kesejahteraan rakyat,” kata dia.
Sebagaimana diketahui, KSS adalah kerja sama antar negara berkembang untuk menghasilkan solusi-solusi bersama bagi pembangunan negara selatan. Negara-negara selatan ini adalah negara-negara dunia di bagian Selatan. Negara yang selama ini dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam dan sebagian besar adalah negara berkembang.
Ketua Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud Arsjad Rasjid menegaskan, kerjasama selatan-selatan ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam persaingan dengan negara di belahan lainnya. Menurutnya, kerjasama ini bisa memperbesar kekuatan ekonomi dan bisa berimbas pada rakyat kecil.
“Kerangka kerja sama ini mengoordinasikan negara dengan kekuatan menengah, terutama di kawasan Indo-Pasifik. Pengaturan ini diharapkan akan menjadi kerangka alternatif dalam merespons persaingan antar negara hegemoni di kawasan. Pengaturan ini juga mencerminkan prinsip "Bebas-Aktif" yang menjadi prinsip politik luar negeri Indonesia dalam berinteraksi di fora internasional,” jelas Arsjad.