Bisnis.com, JAKARTA - Kandidat calon presiden (capres) harus mampu menyesuaikan diri dengan pola pikir generasi Z (Gen-Z), dalam rangka mempersiapkan rencana pemanfaatan fenomena bonus demografi yang tepat sasaran.
Ketua Koalisi Kependudukan Indonesia Sonny Harry B. Harmadi menekankan bahwa bonus demografi yang ditandai dengan tren rasio ketergantungan penduduk usia nonproduktif terhadap penduduk usia produktif (dependency ratio) sebenarnya telah berada di bawah 50% sejak 2012.
Angka ini tengah mencapai titik terendahnya pada medio 2020-2028, dan terus bertahan di bawah 50% sampai 2041. Oleh sebab itu, produktivitas harus digenjot demi menggenjot pertumbuhan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia.
"Suatu negara dianggap berhasil memanfaatkan bonus demografi kalau negara tersebut mampu memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi ketimbang periode di luar bonus demografi," ujarnya dalam Bisnis Indonesia Business Challenges 2024 di Aryaduta Menteng, bilangan Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (23/11/2023).
Sebagai contoh, Korea Selatan memasuki era bonus demografi pada kisaran 1987 sampai 1996, dan hasilnya PNB per kapita melonjak tiga kali lipat dari US$3.530 menjadi US$13.320. Sementara itu, China yang merasakan bonus demografi pada 1997-2021, sehingga PNB dari hanya US$750 menjadi US$11.880.
Jepang pun telah merasakannya di kisaran 1965 sehingga berhasil membangun berbagai industri dengan cepat. Oleh sebab itu, menurut Sonny pemimpin berikutnya harus memiliki visi yang jelas dalam rangka menggandeng para Gen-Z secara optimal sebagai tulang punggung perekonomian, sekaligus para calon pemimpin masa depan.
Baca Juga
"Jumlah pemilih Gen-Z pada Pilpres 2024 nanti mencapai 47,5 juta jiwa. Mereka punya karakteristik suka belajar dan berdialog oleh peer group mereka di media sosial [medsos] untuk mencari solusi. Jadi figur yang aktif di medsos efektif untuk Gen-Z, tapi kurang efektif untuk Generasi X dan Milenial," tambahnya.
Menurutnya, Gen-Z cenderung rasional, kurang loyal namun lebih objektif, dan rentan terhadap isu psikologis karena punya tekanan sosial yang cenderung lebih tinggi ketimbang dua dekade belakangan. Oleh sebab itu, perlu kandidat yang mampu menyelami pola pikir Gen-Z untuk menatap masa depan dengan cara mereka.
Terlebih, tantangan ke depan berbeda dengan masa lalu. "Harapan saya, kandidat mau berdialog. Karena mereka suka dialog dua arah. Generasi sebelumnya cenderung lebih loyal, jadi kampanye satu arah pun bisa masuk. Kalau Gen-Z, pilihannya masih bisa berubah, asal dialognya benar. Ini karena mereka cenderung rasional," jelas Sonny.