Bisnis.com, JAKARTA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan perombakan terhadap sistem keuangan global untuk membantu negara-negara termiskin di dunia pada Selasa (7/11/2023).
Berdasarkan laporan dari Konferensi PBB tentang Perdagangan, Investasi dan Pembangunan (UNCTAD) menyoroti berbagai krisis, mulai dari pandemi Covid-19 hingga melonjaknya inflasi, dan menurunnya investasi asing langsung (FDI) telah memberikan dampak yang sangat buruk bagi negara-negara miskin.
Menurut UNCTAD, sebanyak 46 negara yang disebut sebagai negara kurang berkembang (LDC) mengalami perlambatan ekonomi yang tajam pada tahun-tahun pertama pandemi, sehingga pertumbuhan per kapita gabungan tahun ini berada di bawah target sebesar 16%.
"Sebagai konsekuensi dari perlambatan ekonomi, tambahan 15 juta orang terjerumus ke dalam kemiskinan ekstrem," katanya, dilansir CNA, Rabu (8/11/2023).
Selain itu, UNCTAD juga melaporkan bahwa di saat yang sama, negara-negara LDC menghadapi krisis utang yang sangat besar, mengeluarkan dana sebesar US$27 miliar atau Rp421,7 triliun pada 2021 untuk membayar utang tersebut, naik 37% dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, Ketua UNCTAD Rebeca Grynspan mengatakan di Jenewa bahwa negara-negara LDC berada dalam situasi putus asa, dan sedang berdiri di jurang-jurang fiskal.
Baca Juga
Badan PBB tersebut memperingatkan bahwa negara-negara berkembang masih jauh dari mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) pada batas waktu 2030, yang disepakati oleh semua negara anggota PBB pada 2015.
"Saat ini, negara-negara tersebut menghadapi kesenjangan pendanaan tahunan sebesar US$100 miliar (Rp1.562 triliun) untuk memenuhi kebutuhan transisi SDG mereka," katanya.
Dia mengatakan meski negara-negara tersebut perlu berbuat lebih banyak untuk memobilisasi sumber daya dalam negerinya, tetapi mereka juga membutuhkan sejumlah besar sumber daya dari luar negeri, dan memperingatkan sistem keuangan internasional yang ada saat ini tidak mampu membantu.
“Kesenjangan dalam struktur keuangan internasional, janji-janji yang tidak terpenuhi mengenai pendanaan iklim, dan suara negara-negara berkembang yang sering diabaikan dalam pengambilan keputusan keuangan menggarisbawahi disonansi sistemik,” ujarnya.
Menurutnya, terdapat seruan yang semakin besar dari negara-negara berkembang dan negara-negara lain untuk mereformasi arsitektur keuangan internasional dan cara lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional memberikan dukungan.
Namun, Grynspan menekankan bahwa proses pengambilan keputusan utama mengenai institusi, peraturan dan prosedur yang mengatur keuangan internasional umumnya tidak cukup mempertimbangkan kepentingan negara-negara berkembang.
Dia menjelaskan bahwa hal itu karena negara-negara tersebut mempunyai pengaruh ekonomi dan politik yang terbatas.