Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menjelaskan alasan pihaknya mempercepat pembacaan putusan sidang dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi yang dijadwalkan pada Selasa (7/11/2023) pekan depan.
Dalam sidang lanjutan perkara pada hari ini, Rabu (1/11/2023), awalnya salah satu pihak pelapor Koordinator Perekat Nusantara Petrus Selestinus meminta klarifikasi dari MKMK terkait alasan putusan dibacakan pada 7 November 2023.
Petrus mencurigai MKMK terburu-buru karena pada 8 November 2023 merupakan batas terakhir pengusulan bakal calon pengganti capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Karena nanti kesannya seperti Majelis Kehormatan ini terpengaruh oleh situasi politik yang berada di luar, padahal kami inginkan Mahkamah Kehormatan ini betul-betul mandiri dan tahapan-tahapan itu dilewati dengan normal. Kalau perlu, KPU menunggu proses yang ada di sini," ujar Petrus dalam persidangan seperti yang disiarankan kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (1/11/2023).
Jimly pun menjelaskan, pihaknya memilih 7 November karena merupakan permintaan salah satu pelapor lain yaitu mantan Wamenkumham Denny Indrayana. Pada sidang sebelumnya, Denny mengusulkan keputusan dibacakan sebelum 8 November.
"Kami runding [permintaan Denny], 'Masuk akal itu.' Oke, kalau misalnya kita tolak itu timbul kecurigaan juga, 'Waduh ini sengaja berlindung di balik prosedur jadwal," kata Jimly pada kesempatan yang sama.
Baca Juga
MKMK, lanjutnya, memang ingin segera melakukan pembuktian terkait perkara dugaan pelanggaran etik atas putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan jalan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, menjadi cawapres Prabowo Subianto.
"Lagipula ya ini masalah ini bisa melebar terus, pemilu sudah dekat, jadi bangsa kita harus punya, dapat kepastian. Kalau enggak, ini kan bisa melebar ke mana-mana, bisa konflik, nanti ujungnya PHPU di bawa ke sini lagi. Lalu orang tidak percaya, bagaimana? Jadi ini, soal serius ini," jelas Jimly.
Oleh sebab itu, dia meminta pelapor coba mengesampingkan kepentingannya masing-masing dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar. Jimly takut, jika persidangan ini dibiarkan berlarut-larut maka bangsa menjadi kacau hanya karena adanya pemaksaan kepentingan golongan seperti partai politik.
"Sudahlah kita akui saja, semua pribadi punya kepentingan, semua keluarga punya kepentingan, semua golongan, kelompok, apalagi partai, partai itu kan golongan, punya kepentingannya sendiri-sendiri. Nah itu pasti berbeda pendapatnya. Itu namanya penalaran yang didorong oleh kepentingan, tapi kalau bertemu, dimusyawarahkan, kita bicara tentang kepentingannya lebih besar, lebih luas, ketemu Pak perbedaan itu," tutupnya.