Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemberantasan Korupsi Diusulkan Pakai Hukum Administrasi hingga Perdata

Pemerintah diusulkan pakai hukum administrasi dan perdata dalam pemberantasan kasus korupsi proyek pemerintah.
Ilustrasi sidang/Istimewa
Ilustrasi sidang/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diusulkan menggunakan pendekatan hukum administrasi dan perdata dalam pemberantasan kasus korupsi yang melibatkan proyek pemerintah.

Kuasa hukum terdakwa Galumbang Menak dalam kasus pengadaan BTS 4G, Maqdir Ismail mengatakan selama ini pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum pun telah memprioritaskan pemberantasan korupsi melalui proses hukum pidana.

Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mulai mengkaji ulang terhadap cara pemberantasan korupsi, khususnya terhadap pekerjaan atau proyek pemerintah yang sedang diselesaikan atau masih belum selesai.

"Penanganan hukumnya tidak mengedepankan proses hukum pidana dengan ancaman hukuman penjara, tetapi diselesaikan terlebih dahulu dengan hukum administrasi dan perdata," ujarnya dalam siaran pers, Minggu (29/10/2023).

Tujuannya agar proyek-proyek pemerintah yang diduga bermasalah tetap dapat diselesaikan dengan cepat dan efektif tanpa harus menunggu proses hukum pidana yang panjang dan rumit.

Dia menuturkan dengan menggunakan hukum pidana sebagai alat pemberantasan korupsi, maka bisa berimplikasi negatif terhadap para pelaku usaha dan perekonomian nasional. Selain itu, hukum pidana juga berisiko melanggar hak asasi manusia (HAM) jika tidak diterapkan secara adil dan proporsional.

Maqdir menyampaikan pendapat tersebut setelah melihat sejumlah fakta yang muncul di persidangan kasus dugaan korupsi pembangunan BTS 4G Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi Dan Informatika (Bakti Kominfo).

Kejaksaan Agung telah menetapkan 13 tersangka dalam kasus dugaan korupsi, enam di antaranya sudah menjadi terdakwa dan disidangkan, termasuk mantan Menteri Kominfo Johnny G. Plate, eks Direktur Utama Bakti Anang Achmad Latif dan juga Galumbang.

Kejaksaan mendakwa dengan menggunakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyebutkan ada kerugian negara Rp8,03 triliun. BPKP dan Kejaksaan mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 yang kemudian dianggap mangkrak.

Padahal, dari fakta-fakta persidangan terungkap bahwa sebanyak 3.242 BTS yang dianggap mangkrak sebagian telah selesai dan hanya menunggu proses serah terima secara administratif, sebagian sudah dalam proses pembangunan, dan yang belum dibangun tetap bisa dinilai asetnya.

Penentuan cut-off date 31 Maret 2022 juga tidak sesuai dengan fakta hukum karena pekerjaan penyelesaian pembangunan BTS 4G terus berlanjut dan sampai Oktober 2023 telah selesai hampir 100%.

Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menilai kerugian negara belum bisa disimpulkan terhadap sebuah pekerjaan yang belum selesai. Alasannya, dalam perspektif hukum pidana, sebuah kerugian merupakan sebuah akibat yang sifatnya nyata dan pasti dan tidak bisa hanya berupa potensi kerugian.

Chairul menambahkan, mengingat belum ada kerugian negara yang nyata dan pasti, maka perkara BTS 4G belum bisa masuk domain hukum pidana.

“Pendapat saya hal seperti itu ranahnya hukum administrasi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper