Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengadilan Socrates, Putusan MK, dan Isu Dinasti Politik Jokowi

Putusan MK kemarin mengingatkan kembali kepada kisah eksekusi socrates. Hukum tidak untuk mencari keadilan tetapi legitimasi politik segelintir orang.
Edi Suwiknyo, Reyhan Fernanda Fajarihza
Selasa, 24 Oktober 2023 | 07:00
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan) berfoto bersama putranya, Gibran Rakabuming Raka/JIBI-Reza Fitriyanto
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan) berfoto bersama putranya, Gibran Rakabuming Raka/JIBI-Reza Fitriyanto

Bisnis.com, JAKARTA -- Demokrasi tanpa kontrol akan melahirkan tirani. Para pemikir Yunani ribuan tahun lalu sebenarnya telah memberikan tetenger atau wanti-wanti lewat kisah eksekusi Socrates yang di dunia barat dikenal sebagai Trial of Socrates

Socrates adalah seorang cendekiawan, sofis, filsuf yang cukup berpengaruh pada era peradaban Yunani Kuno. Kisah kematiannya memicu banyak polemik. Ini tentu bukan tentang tindak tanduknya yang kritis dan berpotensi menggugat keyakinan yang telah mapan. Tetapi, proses pengadilan terhadap Socrates dinilai menjadi aib bagi bangsa Yunani Kuno.

Socrates dihukum mati dengan cara menenggak racun karena sebuah ide di sebuah tempat yang mengagung-agungkan demokrasi. Pledoi Socrates yang dicatat Plato dengan judul "The Apology" menelanjangi sistem peradilan di Yunani Kuno. Menariknya di dalam The Apology tidak ada satupun permintaan maaf dari Socrates. Sebaliknya, pledoinya itu memuat secara detail gugatan-gugatan satire terhadap proses peradilannya yang dianggap zalim.

Socrates menilai para juri atau dikast, telah bertindak atas nama kekuasaan yang telah mapan dan memutus perkaranya tidak berdasarkan keadilan. Dia juga melihat bahwa mereka yang memutusnya bersalah sekadar mencari aman. Dia yakin mereka akan dikritik oleh generasi selanjutnya. "Mereka sekadar menghindari kritik dalam penyelesaian masalah."

Ilustrasi tentang pengadilan Socrates itu sebenarnya mencerminkan kondisi peradilan di Indonesia. Saat ini lembaga peradilan, sedang mendapat sorotan usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi jalan lapang bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden alias cawapres.

Isi putusannya adalah menambah frasa baru dalam pasal 169 huruf q Undang-undang Pemilu, yakni seorang yang berhak maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah orang yang telah berumur 40 tahun atau pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu, termasuk Pilkada. 

Banyak pihak menyorot putusan MK ini, karena diduga banyak kejanggalan. Kritik bahkan muncul dari internal MK sendiri. Hakim Konstitusi Saldi Isra, misalnya, dalam dissenting opinion atau pendapat berbeda secara blak-blakan mengungkap kejanggalan dan peran Anwar Usman dalam putusan yang penuh kontroversi itu.

Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau paman dari Gibran sendiri. Saldi Isra mengungkapkan bahwa putusan ini jauh dari nalar dan menyinggung perubahan sikap majelis hakim konstitusi karena peran dari Anwar Usman yang awalnya takut ada conflict of interest

"Saya sangat-sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions [pertanyaan politik], yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?" tutup Saldi.

Sistem pengambilan keputusan MK dilalui terlebih dahulu dalam musyawarah hakim konstitusi. Pasal 45 Undang-udang MK menjelaskan secara detail tentang mekanisme pengambilan putusan di MK. Substansi-nya salah satunya adalah jika musyawarah sidang pleno tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

Selain Saldi Isra, kritik juga meluncur dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Kemanan (Menkopolhukam) yang juga bacawapres Ganjar Pranowo, Mahfud MD menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman seharusnya tidak boleh mengadili perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan jalan ke keponakan, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) dalam ajang Pilpres 2024.

Mahfud menjelaskan, seorang hakim notabenenya tidak boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan kepentingan diri sendiri ataupun kepentingan keluarganya. Itu adalah asas yang tidak bisa dilanggar.

"Karena dalam pengadilan itu ada asas-asas sebenarnya, misalnya yang paling terkenal itu kalau satu perkara terkait dengan kepentingan diri sendiri, punya ikatan kekeluargaan, maupun hubungan kepentingan politik, itu hakim tidak boleh mengadili," jelas Mahfud dalam diskusi dengan milenial di M Bloc, Jakarta Selatan, Senin (23/10/2023).

Lebih lanjut, dia mengaku bingung dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebab menambahkan norma baru dalam UU. Padahal, menurut mantan ketua MK ini, bukan tugas lembaga penjaga konsitusi menambah suatu norma baru dalam perundang-undangan.

"MK itu tugasnya bukan membuat tapi membatalkan. Tugas utamanya, ini batal. Ini [perkara nomor 90/PUU-CXI/2023] tidak batal tapi ditambah gitu, itu sebenarnya enggak boleh, kalau aturannya," ujar Mahfud.

Bawa Kisah Nabi Muhammad

Di sisi lain, Ketua MK Anwar Usman akhirnya menanggapi tudingan masyarakat luas bahwa MK berubah menjadi 'mahkamah keluarga' usai mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres.

Anwar membawa-bawa kisah Nabi Muhammad yang didatangi oleh utusan bangsawan Quraisy, untuk diberikan perlakuan khusus karena terdapat tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak bangsawan tersebut.

"Bagaimana Nabi Muhammad SAW ketika didatangi oleh salah seorang yang bernama Usamah bin Zaid yang diutus oleh bangsawan Quraisy supaya bisa melakukan intervensi, meminta perlakuan khusus karena ada tindak pidana yang dilakukan oleh salah seorang anak bangsawan Quraisy. Apa jawab Rasulullah SAW? Beliau tidak mengatakan menolak atau mengabulkan permohonan dari salah seorang yang diutus bangsawan Quraisy ini," katanya dalam jumpa pers di Gedung MK, Senin (23/10/2023).

Menurutnya, saban merumuskan tiap putusan, dirinya tetap berlandaskan pada tanggung jawab kepada bangsa, negara, masyarakat, dan terutama tanggung jawab kepada Tuhan. "Dalam setiap perkara apapun itu yang saya lakukan sampai hari ini," tegasnya.

Dirinya juga meminta agar seluruh pihak turut mencermati makna konflik kepentingan yang berkaitan dengan kewenangan MK dengan mencermati putusan yang ada "Masalah konflik kepentingan dan sebagainya, rekan-rekan dipersilakan membaca, mengkaji putusan MK nomor 004/PUU-I/2023. Mulai dari situ kawan-kawan sekalian bisa mencermati apa itu makna konflik kepentingan atau conflict of interest berkaitan dengan kewenangan MK," papar Anwar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper