Reklamasi Teluk Benoa
Selain proyek Rampang, Tomy Winata juga dikait-kaitkan dengan reklamasi Teluk Benoa. Reklamasi Teluk Benoa adalah proyek presitisius yang akan menambah sejumlah pulau di kawasan yang berada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung tersebut.
Proyek ini juga memperoleh penolakan dari masyarakat. Gerakan masyarakat ’For Bali’ sangat getol menolak rencana tersebut. Mereka berpandangan bahwa Teluk Benoa merupakan kawasan adat sehingga harus dijaga kesuciannya.
Tomy Winata sempat menanggapi penolakan terkait proyek yang dikembangkan oleh kelompok usaha Artha Graha, PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Pada tahun 2015 lalu, dia bahkan mengaku siap apabila proyek tersebut harus dimoratorium.
Tomy menuturkan proyek revitalisasi bukan sekali ini digagas olehnya. Dirinya pernah menggarap proyek reklamasi di Pantai Kuta, Bali seluas 4,5 hektare untuk dikembangkan menjadi Kartika Plaza Hotel dan Villa.
Pada saat itu, lanjut pria yang akrab disapa TW ini, tidak ada orang yang meributkan upaya reklamasi. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan gencarnya penolakan masyarakat dan LSM terhadap proyek reklamasi Teluk Benoa, Badung, Bali.
Kendati yakin proyeknya mengusung konsep green project, Tomy mengaku siap apabila penolakan yang digaungkan sekelompok masyarakat berujung pada pembatalan proyek ini.
Baca Juga
"Kalau ujungnya proyek ini dimoratorium saya siap. Saya nolkan semua dana yang sudah keluar," kata Tomy, Jumat (10/4/2015).
Dari nilai total proyek yang mencapai Rp30 triliun, PT TWBI diperkirakan telah membelanjakan sekitar Rp1 triliun untuk ongkos konsultan, feasibility study, dan uji lapangan.
Kesiapan Tomy bukan tanpa syarat. TW justru menantang agar masyarakat dan LSM memoratorium seluruh proyek yang belum memiliki izin perubahan peruntukkan kawasan di sekitar Bali. Utamanya di Tanjung dan Teluk Benoa.
Berdasarkan data TWBI, setidaknya ada 61 bangunan yang menyalahi izin kawasan. Dua di antaranya Hotel Crystal dan pabrik semen milik PT Pioneer Beton yang membuang limbah di sekitar kawasan mangrove.
"Ini termasuk rasa keadilan sebagai investor. Proyek saya ini belum apa-apa, tapi sudah terkendala opini seperti itu," ujarnya.
Jembatan Selat Sunda
Proyek lain yang juga sempat menuai kontroversi adalah wacana pembangunan Jembatan Selat Sunda. Jembatan ini rencananya akan menghubungkan daratan Banten dan Sumatra khususnya Lampung.
Pengusaha Tomy Winata lagi-lagi dikaitkan dalam proyek prestisius tersebut. Proyek ini disebut akan menelan dana sebesar Rp255 triliun.
Namun proyek ini kemudian diputuskan untuk dibatalkan pada pemerintahan Presiden Jokowi. Menteri Bappenas pada awal pemerintahan Jokowi, Andrinof Caniago mengkhawatirkan pembangunan jembatan antarpulau itu akan mematikan identitas maritim nasional. Pasalnya Selat Sunda merupakan jalur penyeberangan laut terpadat di Indonesia.
“Proyek Jembatan Selat Sunda tidak untuk dibangun paling tidak dalam 5 sampai 10 tahun ke depan,” tegasnya dalam pertemuan dengan wartawan, Jumat malam (31/10/2014).
Menurut dia, kegiatan maritim di Selat Sunda tidak seharusnya dihentikan, tetapi justru dikembangkan dan dipamerkan sebagai identitas maritim. Tahap awal bisa dilakukan dengan memperbaiki infrastruktur pelabuhan, menambah dermaga dan unit kapal.
“Kita harus menghentikan pemikiran paradox dalam merencanakan proyek pembangunan, jangan menciptakan ketimpangan,”lanjutnya.
Pembangunan Jembatan Selat Sunda diproyeksi akan menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Artinya, pertumbuhan pembangunan tidak merata, melainkan hanya terfokus di wilayah Jawa dan Sumatera.
Di sisi lain, sebelum resmi dibatalkan, Tomy Winata juga pernah mengungkapkan unek-uneknya mengenai proyek tersebut. Dia mengatakan pemerintah perlu tegas dan satu kata terkait proyek-proyek nasional yang memiliki efek positif bagi seluruh rakyat seperti tanggul raksasa di Teluk Jakarta dan Jembatan Selat Sunda.
"Proyek-proyek tersebut perlu keputusan politik yang kuat, tapi jangan menjadi proyek politik tertentu," ujarnya melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa (19/11/2013)
Tomy mengatakan perlu pribadi yang kuat, ikhlas dan siap mengambil risiko apa pun dengan tegas dan tuntas demi tercapainya proyek strategis demi masa depan rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Ini pandangan saya. Saya senang dan akan menerima kalau saya yang dianggap salah selama ini," ujarnya.
Menyikapi proyek Jembatan Selat Sunda (JSS), yang sudah memiliki dasar hukum karena sudah ada keputusan presiden dan peraturan presiden, dia menyatakan pemerintah masih bersikap ragu-ragu dan belum bisa satu kata.
"JSS menyangkut masa depan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa serta memiliki efek domino yang positif ke seluruh negeri. Sekurang-kurangnya, keberadaan JSS akan berdampak pada masa depan tiga perempat rakyat dan 80% ekonomi Indonesia. Itu masih tertunda tanpa keputusan," tuturnya.
Bisnis telah menghubungi pihak Artha Graha untuk mengonfirmasi seputar kisruh pengembangan Pulau Rempang hingga proyek milik Tomy Winata lainnya. Namun hingga berita ini diturunkan belum ada penjelasan resmi dari pihak Artha Graha.