Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Jepang untuk mulai melepaskan limbah radioaktif yang telah diolah selama sekitar 30 tahun ke Samudera Pasifik pada tanggal 24 Agustus telah menuai kritik dari beberapa negara, termasuk China dan beberapa organisasi ilmiah terkemuka di dunia, seperti NAML dan IAEA.
Dilansir dari South China Morning Post, rencana untuk mengatasi 1,3 juta ton air terkontaminasi yang terakumulasi sejak kehancuran pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi pada tahun 2011 itu termasuk menghilangkan sebagian besar bahan kimia radioaktif sebelum dibuang ke laut.
Meskipun beberapa ilmuwan mendukung pendekatan ini dengan alasan bahwa tritium yang akan dilepaskan tidak merugikan kesehatan manusia atau lingkungan, terdapat sentimen luas yang menentang hal ini di komunitas ilmiah arus utama.
Mengapa komunitas ilmiah tidak setuju dengan tritium yang dibuang ke laut?
Tritium adalah salah satu dari dua bahan kimia yang tidak dapat disaring oleh sistem pemrosesan cairan canggih Jepang (ALPS) dan telah menjadi fokus argumen bahwa pelepasan air adalah tindakan yang aman.
Namun, ALPS terbukti tidak berhasil menyaring 62 bahan kimia radioaktif lainnya yang ada dalam air limbah, menurut data dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI).
Menurut METI, sekitar 70 persen air yang diolah dengan ALPS masih mengandung zat radioaktif selain tritium pada akhir tahun 2020 dan perlu dimurnikan kembali.
Asosiasi Laboratorium Kelautan Nasional (NAML) berbasis di Amerika Serikat (AS) yang mewakili lebih dari 100 laboratorium merilis makalah posisi pada Desember 2022 yang dengan tegas menentang rencana Jepang karena kurangnya data ilmiah yang memadai dan akurat tentang keamanannya.
Anggota NAML mencakup beberapa lembaga penelitian kelautan paling berpengaruh di dunia, termasuk Scripps Institution of Oceanography di University of California, San Diego.
Secara khusus, NAML prihatin dengan tidak adanya data penting mengenai kandungan radionuklida di setiap tangki. Informasi tersebut belum dipublikasikan oleh METI dan operator pembangkit listrik Tokyo Electric Power Company (Tepco).
Isotop radioaktif seperti sesium-137, strontium-90, dan yodium-131 hanyalah beberapa bahan kimia yang mencemari air yang bersentuhan dengan inti reaktor nuklir yang meleleh.
Paparan isotop ini dapat meningkatkan risiko berbagai jenis kanker terutama jika tertelan, menurut Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA).