Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wacana Pembentukan Koalisi Besar Menguat, Apa Urgensinya?

Para politikus terus bereksperimen untuk membangun komunikasi politik. Paling terbaru muncul rencana membentuk koalisi besar. Apakah ini akan berhasil?
Presiden Joko Widodo bersepeda dan menyapa warga saat Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/1/2023). Setpres
Presiden Joko Widodo bersepeda dan menyapa warga saat Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/1/2023). Setpres

Bisnis.com, JAKARTA – Wacana pembentukan koalisi besar menuai pro dan kontra. Salah satu politikus yang paling lantang mempertanyakan urgensi pembentukan kaolisi besar adalah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid.

Jazilul mengungkapkan keheranannya dengan wacana pembentukan koalisi tersebut. Dia bahkan menuding koalisi besar hanya akan melayani kepentingan politik para elite, bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

"Dua koalisi besar untuk apa?" tanya Jazilul Fawaid, Jumat (31/3/2023).

Meski terjadi pertentangan bahkan di internal koalisi pemerintah saat ini, wacana pembentukan Koalisi Besar justrumakin santer terdengar.

Tanda-tanda keseriusan pembentukan koalisi jumbo itu tampak dalam ajang silaturahmi yang digelar pada Partai Amanat Nasional (PAN) pada Minggu (2/3/2023). Pada momen tersebut, para petinggi lima partai politik (parpol) pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat akrab bercengkerama.

Saat itu, hadir para petinggi Partai Golkar, PAN, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Notabenenya, antara kelima parpol itu ada dua poros koalisi yang sudah terbentuk.

Golkar, PAN, dan PPP sudah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Sedangkan Gerindra dan PKB sudah membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Ternyata, Golkar mengatakan pertemuan antara KIB dan KKIR itu merupakan penjajakan awal wacana pembentukan Koalisi Besar. Golkar mengatakan pihaknya mengeksplorasi kemungkinan KIB-KKIR jadi satu Koalisi Besar.

"Sekarang sudah mulai dijajaki. Penjajakan pertama itu kan adanya pembicaraan tingkat awal soal komunikasi dibangun antara KIB dengan KKIR gitu ya," ujar Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Selasa (4/4/2023).

Seperti tak mau ketinggalan, satu parpol pendukung (utama) Jokowi lainnya, PDI Perjuangan (PDIP) juga mengatakan siap menjadi tuan rumah pertemuan antara KIB, KKIR, dan tentunya partai berlambang banteng hitam itu.

PDIP Buka Peluang

Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengatakan pihaknya membuka kemungkinan bergabung ke Koalisi Besar.

"Siapa yang menjadi tuan rumah [pertemuan parpol yang akan tergabung ke koalisi besar] monggo [silakan] saja. Kalau kemudian ada kesempatannya, PDI Perjuangan atau Ibu Megawati yang menjadi tuan rumahnya, ya silakan juga," ujar Puan, Selasa (4/4/2023).

Lantas, seperti pertanyaan Jazilul, mengapa para elite politik seakan ngebet ingin bentuk Koalisi Besar? Padahal, formasi saat ini memungkinkan terbentuknya empat poros koalisi.

Dalam Pasal 222 UU No. 7/2017 (UU Pemilu) disebutkan hanya partai atau gabungan partai (koalisi) yang memperoleh setidaknya 20 persen jumlah kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang dapat mengajukan pasangan capres-cawapres.

Meski begitu, sepertinya para elite—mengutip bahasa Jazilul—lebih suka Pilpres 2024 diikuti hanya dua pasangan capres-cawapres. Oleh sebab itu, mereka ingin membentuk koalisi yang besar.

Padahal, dari pengalaman dua pilpres belakangan, dua pasangan capres-cawapres menyebabkan masyarakat makin terbelah. Polarisasi makin terasa. Sejalan, politisasi identitas kerap digunakan.

Sejak pilpres langsung 2004, koalisi pengusung pasangan capres-cawapres yang memiliki kursi di DPR terbesar juga tak selalu menang. Pilpres 2004 misalnya, koalisi minor SBY-Jusuf Kalla bisa menang; begitu juga koalisi minor Jokowi-Jusuf Kalla berhasil menang dari koalisi mayoritas Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014.

Artinya, tujuan utama pembentukan koalisi besar mungkin hanya untuk mencari kekuasaan atau setidaknya konsolidasi kekuasaan, seperti berdasarkan temuan Paul Chaisty, Nic Cheeseman, dan Timothy J. Power dalam buku Coalitional Presidentialism in Comparative Perspective (2018).

Untungkan Presiden

Chaisty, Cheeseman, dan Power menunjukkan tren pembentukan ‘koalisi besar’ tak hanya terjadi di Indonesia namun juga mayoritas negara demokratis lainnya.

Setidaknya, sejak 1980-an terjadi apa yang disebut “gelombang ketiga demokratisasi”. Sejak itu, banyak negara menerapkan sistem multi atau banyak partai. Sejalan dengan itu, pluralitas politik makin tampak yang berakibat sulitnya calon presiden (capres) memperoleh koalisi mayoritas (partai pendukungnya punya 51 persen kursi di parlemen).

Akibatnya, baik di sistem parlementer maupun presidensial, 73 persen kepala pemerintahan yang tak punya koalisi mayoritas mengundang partai lain untuk bergabung dalam kabinet mereka.

Chaisty, Cheeseman, dan Power menyimpulkan jika demokratisasi makin meningkat maka presiden dengan koalisi minor cenderung melobi partai politik lain untuk mendapatkan dukungan ke pemerintahannya.

Pertanyaannya: mengapa presiden terpilih ingin punya koalisi besar atau koalisi mayoritas? Menurut Chaisty, Cheeseman, dan Power, presiden membangun koalisi mayoritas karena mereka ingin mengontrol agenda legislatif.

Apa agenda legislatif itu? Di Indonesia sendiri ada tiga tugas utama DPR, yaitu pembentuk Undang-undang, pengalokasian anggaran untuk lembaga pemerintah, dan pengawasan kinerja pemerintah.

Singkatnya, seorang presiden—dalam sistem presidensial—merasa kebijakan dan berbagai UU inisiatifnya hanya dapat terwujud jika membentuk koalisi mayoritas di parlemen terlebih dahulu.

Tak hanya memastikan keberhasilan kebijakan presiden sendiri, tetapi juga mencegah proposal yang tidak diinginkan menjadi undang-undang. Dengan kata lain, koalisi besar adalah alat untuk mencapai tujuan.

Sejalan dengan itu, Chaisty, Cheeseman, dan Power menemukan tren bahwa pembentukan faksi pro-pemerintahan yang besar di parlemen menyebabkan ‘kartelisasi’ kebijakan. Artinya, wilayah legislatif akan jadi tempat yang bersahabat bagi para eksekutif.

Contoh dekatnya adalah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Koalisi pemerintahan Jokowi memiliki koalisi jumbo di parlemen. Tak heran beberapa RUU inisiatif pemerintah yang cukup kontroversial di mata masyarakat dapat lolos di DPR, sebut saja UU KPK baru dan terakhir UU Cipta Kerja.

Selain itu, presiden juga dapat membentuk atau menambah partai koalisi untuk meningkatkan legitimasi serta mempertahankan citra kekuasaan. Presiden terkadang juga membentuk koalisi besar sebagai asuransi agar terjadi pemakzulan.

Keuntungan Parpol

Lalu, apa keuntungan parpol sehingga mau masuk ke koalisi presiden? Chaisty, Cheeseman, dan Power mengategorikan tiga sifat parpol yang masuk koalisi besar pemerintahan. Pertama, ada parpol “pencari suara”.

Tujuan utama parpol jenis ini tidak hanya untuk memenangkan ajang pilpres tetapi juga untuk memaksimalkan suara partai mereka sendiri. Dalam kata lain, mereka mencari efek ekor jas dari presiden yang mereka usung bersama koalisi besar.

Kedua, ada parpol “pencari jabatan”. Tujuan utama parpol jenis ini yaitu untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Ciri koalisi partai-partai pencari jabatan yaitu untuk memaksimalkan portofolio kadernya di kabinet presiden.

Ketiga dan terakhir ada parpol “pencari kebijakan”. Tujuan mereka untuk memaksimalkan pengaruh parpol ke kebijakan publik. Dengan bergabung ke koalisi pemerintahan maka mereka berharap dapat mempengaruhi arah kebijakan yang ada.

Meski begitu, tak jarang juga ada parpol mengejar ketiga tujuan tadi, yaitu mencari suara, jabatan, dan kebijakan. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlewati.

Chaisty, Cheeseman, dan Power pun berpendapat seorang presiden harus bisa mengategorikan parpol koalisinya ke berbagai kategori itu. Dengan begitu, presiden dapat memastikan keberlangsungan koalisi besarnya.

Mereka mencontohkan, parpol pencari suara dapat keluar dari koalisi jika pemerintah semakin tak populer di mata rakyat. Parpol ini percaya jika tetap berkoalisi dengan presiden maka akan membahayakan perolehan suara mereka pada pemilu berikutnya.

Sebaliknya, parpol pencari jabatan mungkin akan tetap setia kepada pemerintah yang tak populer asalkan jabatan menteri dapat tetap mereka pegang atau malah bertambah.

Begitu juga dengan parpol pencari kebijakan, yang mungkin memilih keluar dari koalisi pemerintah jika tak mendapat kebijakan yang mereka mau. Mereka akan lebih memilih berkoalisi dengan parpol yang punya ideologi yang sama meski di luar pemerintahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper