Bisnis.com, JAKARTA - Perdebatan terkait penurunan angka kelahiran di Jepang muncul di media sosial.
Hal ini menyusul kebijakan pemerintah Jepang menjadikan penanggulangan penurunan angka kelahiran sebagai prioritas utama.
Jepang mencatat kurang dari 800.000 kelahiran pada tahun lalu, terendah di negara berpenduduk 125 juta sejak dimulainya pencatatan, seperti dilansir dari CNA, Selasa (28/3/2023).
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida telah memperingatkan tren tersebut dapat mengancam masyarakat, dan fokus baru pada masalah ini telah memicu permasalahan lebih dalam.
Akan tetapi, Jepang mencatat memiliki rasio tertinggi wanita berusia 50 tahun yang tidak pernah memiliki anak. Hal ini memicu tanggapan dengan menggunakan tagar "tidak memiliki anak seumur hidup" di media sosial.
Seorang penulis di Jepang Tomoko Okada sudah lama merasa malu karena tidak memiliki anak dan awalnya ragu untuk mengklik topik yang sedang tren di Twitter itu, karena takut akan rentetan kritik yang menyinggungnya.
Baca Juga
Sebaliknya, dia menemukan sebagian besar diskusi dengan para wanita yang menjelaskan alasan mereka tidak dapat memulai sebuah keluarga atau, memilih untuk tidak berkeluarga atau memiliki anak.
"Dulu saya sangat percaya bahwa melahirkan adalah hal yang normal untuk dilakukan," katanya.
Dia mengaku telah mencoba layanan perjodohan dan berharap menemukan pasangan tetapi tidak berhasil, dan merasa bersalah ketika ayahnya meminta cucu pada Hari Ayah.
Akan tetapi, dengan mengunggah pengalamannya dan membaca pengalaman orang lain di media sosial membantunya merasa bahwa hidupnya juga baik-baik saja.
Sementara itu, banyak negara maju kini sedang berjuang dengan tingkat kelahiran yang rendah, dan masalah itu juga sangat akut di Jepang.
Jepang memiliki populasi tertua kedua di dunia setelah Monako, dan aturan imigrasi yang relatif ketat sehingga akan menghadapi kekurangan tenaga kerja yang terus meningkat.
Kishida telah menjanjikan kebijakan termasuk bantuan keuangan untuk keluarga, akses pengasuhan anak yang lebih mudah dan lebih banyak cuti orang tua di Jepang.
Akan tetapi, dengan jumlah anggota parlemen perempuan kurang dari 10 persen dari majelis Jepang, dan kabinet Kishida yang terdiri dari 19 menteri hanya 2 perempuan, membuat sebagian besar dari mereka yang terlibat dalam perdebatan adalah laki-laki. Hal itu membuat beberapa wanita merasa dikesampingkan, atau bahkan diserang.