Bisnis.com, JAKARTA - Runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) telah membuat dunia teknologi Amerika Serikat (AS) terkejut dan menerka-nerka bagaimana institusi itu menghilang secara tiba-tiba.
Kolapsnya SVB, satu-satunya bank publik yang berfokus pada perusahaan rintisan atau startup ini tentu membawa kabar buruk bagi berbagai pihak.
Kepanikan mulai dirasakan oleh para pengusaha pemula setelah SVB meyakinkan klien bahwa segala hal yang terjadi di bank itu terkendali, meskipun faktanya bank yang berdiri pada 1980-an itu tengah mengumpulkan kembali uang setelah ditetapkannya beberapa keputusan investasi yang buruk.
"Saya pikir ketika forensik tentang kasus ini selesai, Anda akan menemukan bahwa mungkin hanya 20 orang yang memutuskan untuk memasuki mentalitas ruang perang," ujar Profesor Bisnis Universitas New York Scott Galloway.
"Dan ketika venture capital (VC) menelepon dan memberi tahu untuk mengeluarkan uang , Anda harus mengeluarkan uang Anda," sambungnya.
Menurut laporan, seruan bagi para nasabah untuk segera menarik uang datang dari firma modal ventura paling bergengsi di San Francisco dan Silicon Valey, termasuk Dana Pendiri Peter Thiel, Union Square Ventures, serta Manajemen Coatue.
Para pakar menyebut bahwa runtuhnya SVB mengikuti pola yang lebih klasik jika dibandingkan dengan penutupan bank kripto terbesar Signature Bank pada Minggu (12/3/2023).
Kolapsnya SVB mengingatkan pada adegan di mana para deposan yang pasrah berbaris di bank-bank AS yang gagal, dengan harapan uang mereka yang sudah hilang dapat kembali.
Kejadian tersebut kemudian dikenal sebagai depresi hebat yang menyeret ekonomi dunia ke dalam keterpurukan hingga 10 tahun lamanya.
Seorang analis di Wedbush Dan Ives menilai, kejadian ini pun mungkin akan terulang usai runtuhnya SVB yang berlangsung cepat dan brutal. Menurutnya, efek riak dari kejadian tersebut juga akan terasa hingga 1 dekade ke depan.
Sebab, SVB merupakan sebuah bank yang hanya memutuskan bisnis mereka pada satu jenis aset yang berisiko tinggi. Menurutnya, hal ini membuat bank jenis tersebut lebih rentan dan bisa menyebabkan kehancuran yang besar.
"Dalam kondisi seperti itu, stabilitas bank bisa berubah dalam sekejap, apalagi jika nasabah panik dan mulai berpikir serempak," tuturnya seperti dilansir dari Channel News Asia, Selasa (14/3/2023).