Bisnis.com, JAKARTA - Komunitas pers masih terus menunggu adanya regulasi tentang keberlanjutan media atau media sustainability.
Regulasi ini diperlukan untuk menjaga ekosistem media daring nasional yang sehat, mencerminkan keadilan, dan menjaga kelangsungan hidup media.
Pada dasarnya regulasi ini merupakan kesepakatan antara platform digital—Google, Yahoo, Facebook, dan sebagainya dengan perusahaan pers nasional (sebagai penerbit atau pemilik konten/berita) serta institusi yang mengawasi pelaksanaan kerja sama tersebut. Dalam regulasi keberlanjutan media nanti diharapkan adanya keterbukaan dari perusahaan platform digital sehingga formulanya bisa dipahami dengan jelas oleh pemilik konten.
Selama ini hanya beberapa perusahaan pers skala besar saja yang memiliki kesepakatan khusus dengan platform digital dalam pembagian pendapatan dari iklan (content revenue). Sedangkan perusahaan media sedang/kecil banyak yang tidak memahami atau bahkan tidak pernah tahu formula pembagian pendapatan itu.
Perusahaan platform digital senantiasa mengajak kerja sama dengan perusahaan pers. Kerja sama itu bisa berupa mengambil berita/konten dari perusahaan pers untuk dimuat di platform digital yang mereka miliki.
Jika konten itu cukup banyak mengundang pembaca dan menjadi sasaran penempatan iklan, maka pemilik konten itu akan menerima bagi hasil dari tarif iklan yang terpasang.
Baca Juga
Di samping itu, bisa juga kerja sama yang ditawarkan perusahaan platform digital itu dengan menempatkan iklan secara langsung di sela-sela konten yang banyak mengundang pembaca.
Dari penempatan iklan itu lalu akan dilakukan pembagian pendapatan antara kedua belah pihak. Perusahaan platform digital memang berfungsi pula menjadi semacam agensi untuk perusahaan lain yang ingin memasang iklan. Platform digital nanti akan menempatkan iklan pada konten yang karakternya dianggap sesuai dengan jenis iklannya.
Terhadap perusahaan pers skala besar, platform digital lazimnya akan memberikan detail kerja sama dan formula untuk menghitung bagi hasil pendapatan. Sebaliknya terhadap perusahaan pers skala menengah atau kecil, perusahaan platform digital acap kali hanya memberikan nilai nominal bagi hasil pemuatan iklan dalam periode tertentu.
Perusahaan pers besar tidak mau begitu saja menerima bagi hasil dari platform digital. Mereka cukup punya posisi tawar yang tinggi. Kondisi itu tidak selalu bisa dialami oleh perusahaan pers skala menengah atau kecil. Posisi tawar mereka tidak cukup kuat.
Jika tidak mau menerima hasil dari pengajuan yang disampaikan, bukan tidak mungkin platform digital akan mencari perusahaan pers lainnya untuk diajak kerja sama. Bisa jadi lantaran khawatir tidak mendapatkan kue, perusahaan pers skala menengah dan kecil pasrah saja toh tidak memerlukan biaya dan usaha lagi untuk mendapatkan bagi hasil itu.
Regulasi untuk keberlanjutan media nanti perlu mencantumkan dalam pasal-pasalnya tentang harus adanya formula penghitungan bagi hasil. Sebagaimana lazimnya dalam kesepakatan bisnis, kedua belah pihak harus memahami aturan yang menjadi landasan kerja sama itu.
Artinya, perusahaan platform digital harus menyertakan dan menjelaskan formula atau cara penghitungkan bagi hasil. Sebelum kesepakatan kerja sama itu ditandatangani kedua belah pihak, perusahaan pers harus paham benar formula yang diajukan oleh perusahaan platform digital. Seperti itulah memang kerja sama bisnis yang sehat. Harus ada kejujuran dan saling keterbukaan antara kedua belah pihak.
Jika perusahaan pers skala sedang atau kecil tidak memahami formula penghitungkan bagi hasil yang diajukan platform digital, maka bisa saja mereka minta bantuan institusi yang mengawasi pelaksanaan regulasi keberlanjutan media ini.
Persoalan berikutnya adalah tentang institusi yang menangani. Karena ini berkaitan dengan konten perusahaan pers, maka institusi yang menanganinya sudah semestinya dibentuk oleh dan berada di bawah Dewan Pers. Dasarnya adalah pasal 3 ayat 2 UU No. 40/1999 tentang Pers yang menyebutkan, bahwa pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Membentuk lembaga baru di luar Dewan Pers, justru berarti pemborosan. Adanya lembaga baru tersebut juga berpotensi terjadinya benturan dengan Dewan Pers lantaran media-media daring yang ada berhimpun dalam beberapa asosiasi yang semuanya menjadi konstituen Dewan Pers.
Kemudian pasal 15 ayat 2b UU Pers itu juga menyatakan, bahwa Dewan Pers melakukan pengkajian dan pengembangan kehidupan pers. Kerja sama dengan perusahaan platform digital ini jelas terkait dengan konten atau produk perusahaan pers dan upaya mengembangkan pers nasional agar terbuka, profesional, terus berlanjut, serta berkembang.
Menunggu regulasi dalam bentuk UU, seperti di Australia dan Prancis, tentu memerlukan waktu yang lama. Padahal jumlah media daring nasional saat ini yang telah mencapai 43.000 perlu mendapat perlindungan segera. Untuk itu, regulasi dalam bentuk peraturan presiden barangkali lebih memungkinkan untuk segera diberlakukan.