Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyinggung tentang keterbukaan keuangan partai politik sebagai biang kerok anjloknya kinerja indeks persepsi korupsi Indonesia.
Sekadar informasi, Transparency International Indonesia atau TII telah mempublikasikan corruption perception index yang skor anjlok menjadi 34.
Berdasarkan data Corruption Perceptions Index (CPI) 2022 yang diluncurkan hari ini, Selasa (31/1/2023), skor IPK Indonesia 2022 turun empat poin dari tahun sebelumnya yakni 38. Alhasil, IPK atau CPI Indonesia tidak pernah melewati skor tertinggi 40/100, yang sempat dicapai pada 2018.
Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan, partai politik merupakan di antara pihak yang memainkan peran penting dalam mengerek skor indeks persepsi korupsi di Tanah Air. Dia menilai penguatan partai politik perlu dilakukan agar bisa memiliki akuntabilitas yang lebih besar.
Kendati demikian, pria dengan gelar Doktor dari Universitas Indonesia (UI) itu tak menampik bahwa penguatan partai politik tidak menjamin nihilnya praktik korupsi.
"Semua orang tahu partai politik tidak ada sumber uangnya kecuali dari bantuan pemerintah yang sangat kecil. Setengah mati kita usulkan ayo dong parpol [partai politik] kita perkuat, tetapi pertanyaannya memang ada jaminan kalau partai kuat tidak ada korupsi? Ya tidak ada," jelasnya pada saat peluncuran CPI oleh Transparency Internasional Indonesia (TII) di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Pahala menjelaskan bahwa ada upaya logis di balik penguatan partai politik melalui perbaikan akuntabilitas keuangannya. Hal tersebut sudah didorong olehnya sejak beberapa tahun lalu.
Berdasarkan catatan Bisnis, KPK pernah mengusulkan bantuan dana partai politik dari pemerintah dengan porsi sebesar 50 persen. Dengan didukung oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lembaga antirasuah itu mengusulkan bantuan dana partai politik menjadi Rp8.641 per suara di tingkat pusat.
Adapun saat ini besaran dana bantuan kepada partai politik sebesar Rp1.000 per suara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.1/2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.
"Kalau parpol itu kuat, baru dia [bisa] dikenakan sanksi kalau dia tidak terbuka [soal keuangannya]. Misalnya, baru kita bisa mintai pertanggungjawabannya untuk kader-kader yang duduk di pemerintahan atau di DPR," tutur Pahala.
Kunci dari mengerek IPK, lanjutnya, bakal tergantung di antaranya peran partai politik. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, skor IPK Indonesia diperkirakan bakal "diam di tempat".
"Kalau selama ini kita tidak pernah memegang partai politik, kita juga akan begini-begini saja," ucap Pahala.
Pria yang menjabat sebagai Deputi Pencegahan KPK sejak 2015 itu juga menyebut perlunya sejumlah terobosan untuk bisa meningkatkan skor IPK dalam negeri ke depannya.
Di sisi lain, Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko mengatakan bahwa terdapat tiga indikator sumber data yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, sehingga memicu skor IPK Indonesia anjlok.
"Dari delapan indeks, ada tiga sumber data indikator yang mengalami penurunan, tiga sumber data stagnasi, dan dua sumber data yang mengalami kenaikan," jelasnya pada kesempatan yang sama.
Secara rinci, tiga indikator sumber data yang mengalami penurunan yakni di antaranta Political Risk Service (PRS) sebesar 13 poin. Indikator tersebut menyoroti korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor maupun impor.
Kemudian, IMD World Competitiveness Yearbook turun lima poin. Indikator komposit itu menyoroti ada dan tidaknya korupsi dalam sebuah sistem politik.
Lalu, Political dan Economic Risk Consultancy (PERC) turun tiga poin, yang menyoroti soal seberapa parah korupsi di negara tempat beroperasi.
"PR besar pemerintah, lembaga politik, jurnalis, pelaku usaha, bagaimana menjaga Political Risks Service [PRS] di angka maksimal sedangkan World Justice Project di-maintain sedemikian rupa untuk perubahan besar," terang Wawan.
Selanjutnya, tiga sumber data yang mengalami stagnasi yakni Global Insight, Bertelsmann Stiftung Transformation Index, dan Economist Intelligence Unit.
Lalu, dua sumber data yang mengalami kenaikan yaitu World Justice Project - Rule of Law Indez dan Varieties of Democracy Project, masing-masing satu poin.
Adapun tren CPI Indonesia mengalami naik-turun setidaknya selama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada 2021, skor CPI sebesar 38/100 atau naik tipis dari 2020 yakni 37/100.
Sementara itu, pada 2019 tren CPI sempat naik menjadi 40/100. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada periode pimpinan Agus Rahardjo, bahkan sempat menargetkan bisa menaikkan skor indeks ke 50/100.