Bisnis.com, JAKARTA -- Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menjadi sorotan. Dia dianggap merendahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan terlalu selfish karena membanggakan dirinya sendiri.
Cerita ini bermula ketika Mega menyinggung perilaku para pengguna media sosial yang kerap melakukan swafoto alias selfie. Dia yakin kalau rajin swafoto bakal memiliki banyak pengikut. Mega kemudian mengungkapkan alasannya.
"Kenapa? Satu perempuan, kedua cantik, cantik, kharismatik, opo neh (apalagi) pintar," ucap Megawati.
Pernyataan Mega kemudian menuai polemik. Sosok Megawati sontak menjadi pergunjingan di media sosial. Para pengamat ramai menganalisis maksud di balik pernyataan Megawati.
Terlepas dari polemik tersebut, harus diakui Megawati adalah fenomena politik tersendiri di tanah air. Mungkin, ini mungkin ya, bisa benar bisa salah, dalam sejarah Indonesia pascakolonial, belum ada perempuan yang mencapai karier politik seperti Megawati.
Sebagai politikus dia jelas telah mencapai titik paling pol. Dia adalah presiden dan wakil presiden perempuan pertama di Indonesia, serta perempuan satu-satunya yang memegang kendali partai politik terbesar di Indonesia selama lebih dari dua dasawarsa.
Kendati demikian, perjalanan politik Megawati tidak mudah. Sebagai anak biologis Sukarno, ruang geraknya pada masa Orde Baru sangat terbatas. Karier politiknya sempat dihambat aparat. Trah Sukarno adalah salah satu trah politik yang sangat 'ditakuti' Soeharto.
Kekhawatiran Orde Baru terbukti. Sejak terjun ke politik pada dekade 1980-an, Megawati mampu mengubah konstelasi. Suara PDI melejit. Sekadar ilustrasi, sebelum Pemilu 1987, kursi PDI di parlemen tak pernah mampu tembus 10 persen.
Pada Pemilu 1977, misalnya, PDI hanya memperoleh 8,6 persen atau 29 kursi di DPR. Perolehan kursi ini terpaut jauh dibandingkan PPP yang memperoleh 99 kursi atau penguasa parlemen Golkar yang meraup 232 kursi. Kondisi itu terulang pada Pemilu 1982. Capaian kursi PDI tak pernah tembus di angka 10 persen.
Nasib PDI di parlemen mulai moncer pada Pemilu 1987. Beberapa tahun setelah Mega bergabung. Suara PDI melesat dibandingkan dua pemilu lalu. Partai berlambang kepala banteng itu memperoleh lebih dari 10 persen suara. Jumlah kursi di parlemen menjadi 40 kursi atau naik 16 kursi dari periode pemilu sebelumnya.
Tren peningkatan suara PDI kembali terulang pada Pemilu 1992. Golkar partai penguasa Orde Baru kendati masih dominan, suaranya turun 5,1 persen. Suara PPP naik menjadi 17 persen. PDI partai yang menjadi anak tiri Orde Baru suaranya meroket dari 10,9 persen menjadi 14,9 persen atau naik 4 persen.
Sepak terjang Megawati membuat Orde Baru semakin gundah gulana. Apalagi ketika Mega mengalahkan Budi Hardjono dalam pemilihan Ketua Umum PDI pada 1993 di Surabaya. Pemerintah Orde Baru yang tidak suka kemudian berupaya untuk mendongkel Mega dari kursi Ketua Umum PDI. Soerjadi terpilih dalam kongres Medan tahun 1996.
Soerjadi konon didukung Soeharto dan kekuasaan militer pada waktu itu. Terjadi dualisme kepimpinan di PDI. Mega dan pengikut setianya tetap memegang kendali Markas PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Hingga peristiwa 27 Juli 1996 pecah. Massa PDI pro Surjadi yang dibantu aparat militer menyerbu kantor tersebut. Sejumlah orang dilaporkan tewas.
Konflik internal di PDI pada penghujung kekuasaan Orde Baru kemudian membuat perolehan suara partai berlambang kepala banteng itu jeblok. Pada pemilu 1997, suara PDI merosot 11,84 persen dan kehilangan 45 kursi atau hanya 11 kursi di parlemen.
PDI pro Mega mulai bangkit pasca tumbangnya Orde Baru. Popularitas dan euphoria pro Megawati mampu mengerek suara PDI yang kelak berubah menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Partai ini berhasil tampil sebagai pemenang pemilu.
Namun karena terjadi manuver 'tidak lazim' di parlemen, Megawati gagal duduk sebagai presiden dan harus puas jadi wakil presiden. Megawati akhirnya menjadi presiden perempuan pertama setelah menggeser Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang lengser pada tahun 2001. Sampai sekarang belum ada satupun perempuan di Indonesia yang mampu menyamai rekor Mega.
Kalau menilik sejarah, Megawati barangkali hanya bisa disejajarkan dengan sosok Ratu Kalinyamat dari Jepara, Tribhuwana Tunggadewi seorang ratu dari dinasti Wijaya, yang mulai mengarahkan Majapahit sebagai negara imperium, atau para Sultanah di tanah Serambi Mekkah, Aceh.
Bagi sebagian pihak, mungkin ini terkesan berlebihan, tetapi coba cek di buku sejarah, tak banyak perempuan yang memiliki karier dan kekuasaan moncer sebagai pemimpin di sebuah negara yang sangat kompleks seperti Indonesia. Hanya Megawati.
Bahkan Amerika Serikat, yang sering mengagungkan diri sebagai pelindung demokrasi, pejuang kesetaraan, hak asasi dan tetek bengek-nya, belum pernah ada satupun presiden perempuan yang memimpin negara tersebut. Pol mentok wakil presiden, Kamala Harris. Hillary Clinton pernah mau bertarung, tetapi tersingkir di penyisihan dan gagal lawan Donald Trump.
Di dunia ini, saingan Megawati hanya Ratu Elizabeth II atau mantan kanselir Jerman Angela Merkel. Itupun Elizabeth II telah mangkat. Sedangkan Merkel sudah tidak lagi berkuasa dan tidak memimpin satupun partai politik saat ini.
Kalau laki-laki tentu banyak. Ada Sukarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Banyak pembandingnya.
Mungkin karena merasa jadi satu-satunya perempuan yang pernah berkuasa di bumi Nusantara, Mega berkali-kali mendorong perempuan tampil ke medan laga. Dia ingin perempuan bisa menjadi pemimpin Indonesia.
Mega mengaku bingung, kenapa kini jarang sekali perempuan yang jadi pemimpin di Indonesia. Padahal, dahulu banyak pahlawan perempuan yang berkiprah menjadi penguasa negara, kerajaan bahkan memimpin armada perang untuk melawan penjajah.
"Makanya bingung saya, lah kok sak iki [sekarang] ke mana ya?"