12 Pasal Bermasalah
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat masih ada selusin masalah dalam draf final RKUHP. Salah satunya terkait hukum yang hidup dalam masyarakat yang diatur dalam pasal 2.
“Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri,” ujar rilis Aliansi, Senin (5/12/2022).
Menanggapi penolakan, Yasonna menyarankan lebih baik kelompok masyarakat yang belum puas dengan RKUHP menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Berikut 12 pasal bermasalah pada RKUHP menruut Aliansi Nasional Reformasi KUHP:
Pertama, terkait hukum yang hidup dalam masyarakat yang diatur dalam pasal 2.
“Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri,” ujar rilis Aliansi, Senin (5/12/2022).
Kedua, terkait pasal-pasal yang mengatur pidana mati. Memang, ada puluhan klausul hukuman mati yang diatur dalam RKUHP.
Bahkan, hukuman mati ini sempat jadi sorotan di salah satu forum PBB, Universal Periodic Review, pada 9 November lalu. Forum itu merekomendasikan moratorium dan penghapusan hukuman mati.
“Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapa pun, bahkan oleh negara,” jelas mereka.
Ketiga, penambahan pemidanaan larangan penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila dalam pasal 188.
Aliansi menganggap pasal ini sangat berpotensi jadi pasal karet untuk membungkam oposisi karena tak ada penjelasan lebih lanjut terkait ‘paham yang bertentang’ tersebut.
Keempat, penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara dalam pasal 240 dan 241.
Menurut mereka, pasal tersebut berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Kelima, terkait penghalangan proses pengadilan atau contempt of court dalam pasal 281 hingga 299.
Mereka mencatat tak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum" sehingga pasal ini berpotensi mengriminalisasi advokat yang melawan penguasa.
Keenam, soal hidup bersama sebagai suami-istri di luar pernikahan atau kohabitasi dalam pasal 412.
Di pasal itu, tak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri” sehingga berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.
Ketujuh, soal penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE. Aliansi mencatat belum semua ketentuan pidana dalam UU ITE yang diduplikasi dalam RKUHP dicabut.
“Selain itu, frasa ‘melakukan melalui sarana teknologi’ sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini,” tambah mereka.
Kedelapan, soal pemberitahuan unjuk rasa dalam pasal 256. Mereka meminta seharusnya ada penjelasan bahwa ‘pemberitahuan’ berarti bukan merupakan ‘izin’, sebab di lapangan aparat kepolisian sering meminta bukti pemberitahuan unjuk rasa sehingga seakan menjadi izin.
Kesembilan, terkait penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat dalam pasal 598 dan 599. Menurut Aliansi, pembahasan unsur retroaktif itu untuk memutihkan dosa negara.
“Negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini,” tulis mereka.
Kesepuluh, adanya pasal kohabitasi juga berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual. Kesebelas, ada pasal-pasal yang peringanan ancaman bagi koruptor.
Kedua belas, pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dibebankan kepada pengurusnya. Aliansi merasa kecil kemungkinan korporasi bertanggung jawab sebagai entitas.