Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Pers menilai sembilan pasal di RKUHP yakni Pasal 218-220 berpotensi menghambat kerja jurnalistik yakni mengancam kebebasan pers, terutama tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Anggota Dewan Pers Ninik Rahayu menilai sembilan pasal itu berpotensi mengurangi, bahkan menghilangkan kebebasan pers sebagaimana yang dimandatkan oleh UU Pers dan Pasal 27 UUD 1945. Sementara itu, khusus Pasal 218-220 mengenai penghinaan presiden, kata Ninik, sebenarnya telah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun masih dicoba untuk dihidupkan kembali.
"Syukur-syukur pasal [penghinaan presiden ini] dihilangkan. Yang ini sebenarnya telah dicabut melalui putusan MK pada 2006," ujarnya dalam diskusi di Kompleks Parlemen bersamja Anggota DPR dari Faksi Partai demokrat Benny Kabur Harman, Selasa (19/7/2022).
Meskipun demikian, sambungnya, Dewan Pers menjadi salah satu lembaga yang sangat concern pada isu tersebut dan sekaligus mendukung penuh upaya perubahan KUHP. Hanya saja Dewan Pers mengatakan belum mendapatkan draf resmi RKUHP terbaru dan sembilan pasal yang disorot itu didapat pada draf sebelumnya.
Adapun pasal lainnya di RKUHP yang menurut Dewan Pers berpotensi mengancam kebebasan pers termasuk Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah serta Pasal 246 dan 248 tentang Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum.
Sementara itu, dalam paparannya, Benny menyatakan setuju dengan penghilangan pasal penghinaan atas presiden tersebut. Menurutnya, pasal itu sudah ketinggalan zaman.
Baca Juga
Alasannya, pasal itu muncul dalam sistem negara teokrasi yang terkenal dengan istilah "suara rakyat adalah suara tuhan (pemimpin negara)".
"Kalau takut dihina jangan jadi presiden," ujar Benny.
Benny mengungkapkan, pasal ini sempat dibatalkan oleh MK, tetapi kembali muncul saat penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo marak terjadi.
Saat pasal penghinaan itu diputus dihapus oleh MK, katanya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dihina melalui simbol kerbau, tetapi dia tidak memproses pelaku penghinaan tersebut.
"Itulah sebabnya waktu bapak Presiden Indonesia ke-6, orang bawa kerbau di Bundaran HI lalu dituliskan gitu. Tidak bisa dibawa ke polisi, karena apa, pasal itu sudah dihapus di dalam KUHP," kata Benny.