Bisnis.com, JAKARTA -- Ada yang menarik dari pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat menjadi pembicara di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasional Demokrat (NasDem), Kamis kemarin.
JK, demikian nama karibnya, mengisyaratkan tentang pentingnya peran partai menengah di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, wabil khusus, dalam pembentukan koalisi dan penentuan calon presiden (capres).
Pernyataan politikus senior Partai Golkar itu tentu bukan asal-asalan. JK berpendapat saat ini partai besar memiliki kendala dalam melakukan regenerasi politik. Pasalnya, mayoritas tokoh yang disodorkan partai besar popularitas dan elektabilitasnya sangat rendah.
Dalam catatan sejumlah lembaga survei, elektabilitas elite politik seperti Puan Maharani dari PDIP dan Airlangga Hartarto (Golkar) bisa dibilang jauh panggang dari api. Sangat rendah. Elektabilitas mereka bahkan di bawah kader atau tokoh-tokoh non partai politik seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Satu-satunya elite partai yang sampai sekarang memiliki elektabilitas selangit ya Prabowo Subianto. Namun demikian, banyak pengamat memandang, elektabilitas Prabowo sudah memasuki titik jenuh bahkan ada tren penurunan dibandingkan periode-periode sebelumnya.
Sebaliknya, tokoh-tokoh muda non elite maupun non partai politik elektabilitasnya terus menanjak. Ganjar dan Anies adalah dua tokoh yang merepresentasikan hal itu. Ganjar, meski masih berstatus PDIP, terus menempel Prabowo Subianto. Bahkan dalam beberapa laporan survei, elektabilitas Ganjar sempat melampaui Prabowo.
Baca Juga
Anies Baswedan juga memiliki tren serupa dengan Ganjar. Elektabilitas Anies terus mengejar Prabowo dan Ganjar.
Anies juga merupakan satu-satunya tokoh nonpartai yang memiliki elektabilitas selangit. Dia bahkan kerap diasosiasikan dengan kelompok politik yang kontra dengan pemerintah.
Sayangnya, modal elektabilitas Anies dan Ganjar tidak serta merta mengantarkan mereka ke jenjang capres pencapresan. Mereka bukan penguasa partai. Cilakanya kalau bukan elite, mereka juga tidak punya kendaraan politik.
Sementara konstitusi yang berlaku saat ini masih memberikan kekuasaan kepada partai politik untuk menentukan capres pencapresan. Belum lagi, regulasi yang berlaku saat ini juga mengatur ambang batas atau threshold pencalonan presiden.
Suatu partai yang akan mengusung calon presiden ke jenjang kontestasi Pilpres, minimal harus memiliki 20 persen kursi di DPR. Partai yang memiliki kursi di bawah 20 persen tidak berhak mencalonkan seorangpun menjadi presiden.
Oleh karena itu, Jusuf Kalla berpendapat bahwa dengan realitas politik tersebut, kolaborasi atau kerja sama politik perlu dilakukan. Penjajakan politik perlu dilakukan secara intens. Dan, dalam posisi inilah partai menengah akan berperan.
"Saya katakan yang mengambil peranan nanti bukan partai besar tapi partai menengah."