Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah Sri Lanka memberlakukan perintah tembak di tempat bagi pelaku kekerasan setelah berlakunya darurat militer menyusul pengunduran diri PM Mahinda Rajapaksa.
Dalam keadaan darurat militer polisi juga diizinkan untuk menangkap orang-orang tanpa surat perintah setelah aksi kekerasan melanda negara itu sejak Senin lalu.
Sebanyak tujuh orang tewas hingga mengakibatkan pengunduran diri Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa.
"Pasukan keamanan telah diperintahkan untuk menembak di tempat siapa pun yang menjarah properti publik atau menyebabkan korban jiwa," menurut Kementerian Pertahanan seperti dikutip Aljazeera.com, Rabu (11/5/2022).
Saat negara Samudra Hindia itu berjuang melawan krisis ekonomi terburuknya dalam sejarah, ribuan pengunjuk rasa melanggar jam malam hingga pukul 7 pagi pada hari Selasa untuk melanjutkan aksi protes.
Kekurangan bahan bakar, makanan dan obat-obatan membawa ribuan orang turun ke jalan dalam lebih dari sebulan protes yang sebagian besar berlangsung damai sampai minggu ini.
Baca Juga
Pengunjuk rasa juga menuntut pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa, adik Mahinda Rajapaksa, di tengah krisis ekonomi yang menghancurkan.
Beberapa laporan mengemuka tentang pengunjuk rasa yang marah menyerang politisi yang terkait dengan pemerintah pada Senin malam. Mereka, membakar rumah, toko, dan bisnis milik aparat pemerintah.
Situasi sebagian besar telah tenang kemarin, kecuali laporan kerusuhan sporadis, kata juru bicara polisi Nihal Thalduwa. Dia menambahkan bahwa sekitar 200 orang terluka pada Senin.
Menurut keputusan terbaru, militer dapat menahan orang hingga 24 jam sebelum menyerahkannya kepada polisi. Sedangkan properti pribadi apa pun dapat digeledah oleh pasukan, menurut pemerintah melalui pemberitahuan surat kabar kemarin.
“Setiap orang yang ditangkap oleh petugas polisi harus dibawa ke kantor polisi terdekat,” katanya, yang menetapkan batas waktu 24 jam bagi Angkatan Bersenjata untuk melakukan hal yang sama.
Beberapa analis menyatakan keprihatinan atas potensi penyalahgunaan tindakan di negara yang telah berada di bawah keadaan darurat sejak Jumat lalu tersebut.
“Dalam situasi pemberlakuan keadaan darurat dan jam malam, siapa yang dapat memantau untuk memastikan peraturan ini tidak disalahgunakan?” kata Bhavani Fonseka dari lembaga Center for Policy Alternatives yang berbasis di Kolombo.