Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Membandingkan Politik 'Pencitraan' Jokowi dengan Sukarno

Jokowi dan Sukarno adalah dua tokoh politik yang lihai memainkan citra untuk kepentingan politik. Bedanya, jika Sukarno terkenal flamboyan, Jokowi mampu meraih kursi presiden berkat citranya sebagai rakyat jelata.
Presiden Joko Widodo tiba untuk memimpin Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan 1945 di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (17/8/2021). Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Lampung. ANTARA FOTO/Setpres
Presiden Joko Widodo tiba untuk memimpin Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan 1945 di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (17/8/2021). Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Lampung. ANTARA FOTO/Setpres

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemilihan presiden (Pilpres) masih 2 tahun lagi. Namun tensi politik semakin panas. Sebagian elemen masyarakat sudah terlibat aksi dukung mendukung kandidat tokoh yang dianggap cocok sebagai presiden. 

Sejauh ini ada sejumlah nama kuat yang digembar-gemborkan akan maju sebagai calon pasangan presiden dan wakil presiden. Namun demikian, tokoh-tokoh itu bisa terancam tak jadi maju, jika wacana untuk menunda atau memperpanjang jabatan presiden lolos di parlemen.

Isu yang santer terdengar, sejumlah elit politik mulai bergerilya untuk mengusung kembali Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden untuk periode ketiga.

Rencana ini selain berpotensi mengancam demokrasi, juga bertentengan dengan konstitusi. Pasalnya, sejak 2004, Indonesia telah sepakat bahwa seorang presiden hanya memiliki jatah 2 periode.

Menariknya, ancer-ancer konstitusi tersebut tidak terlalu berpengaruh. Aspirasi untuk mendukung Jokowi tiga periode justru semakin massif. Buktinya, organisasi yang menghimpun para pendukung pasangan Jokowi-Prabowo pada Pilpres 2024  “Jokpro 2024” muncul. Jokpro sendiri merupakan singkatan dari Jokowi-Prabowo.

Terlepas dari pertentangan apakah gerakan itu menabrak konstitusi atau tidak, fenomena ini menunjukkan bahwa Jokowi masih dianggap layak untuk menjadi pemimpin Indonesia. Walaupun jika mengacu konstitusi yang berlaku saat ini, wacana itu mustahil untuk terealisasi.

Perlu dicatat, Jokowi adalah pemimpin dengan mazhab poluler. Dia mengandalkan popularitas dan citra baiknya untuk menarik simpati publik. Jokowi selalu mencoba untuk mengidentifikasi sebagai sosok yang terkesan 'merakyat', sekaligus memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.

Eks Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan berseloroh jika Jokowi merupakan presiden yang paling rajin menemui rakyatnya di seluruh penjuru tanah air. Entah satir atau benar memuji, namun fakta bahwa Jokowi kerap keliling Indonesia untuk menemui rakyat atau meresmikan proyek tidak bisa dibantah.

Kapitalisasi Pencitraan

Jokowi memang seorang politikus yang lihai memanfaatkan simbol-simbol kerakyatan untuk kepentingan politik. Dia sering berpakaian santai, mengendarai motor dan menggunakan outfit merek-merek lokal.

Pada saat menjadi Gubernur DKI Jakarta silam, misalnya, Jokowi disorot karena hobi mengendarai chopper dan menjadi penggemar band metal legendaris asal Amerika Serikat, Metallica.

Strategi politik 'citra' Jokowi tersebut rupanya cukup manjur. Hal itu terbukti saat dia berhasil menang dalam dua kali kontestasi Pilpres pada tahun 2014 dan 2019. Padahal lawan Jokowi bukan orang sembarangan, Prabowo Subianto.

Prabowo adalah mantan prajurit TNI dengan pangkat terakhir letnan jenderal. Prabowo juga mewakili sebuah trah politik masa lalu, yang telah secara turun temurun berperan cukup penting dalam kancah politik Indonesia.

Ayah Prabowo adalah Soemitro Djojohadikusumo. Mantan menteri pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Soemitro dikenal sebagai tokoh intelektual yang mendapat gelar begawan ekonomi Indonesia.

Sementara kakeknya, Margono Djojohadikusumo, juga bukan orang sembarangan dia adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI).

Namun demikian catatan kegemilangan trah Prabowo tak mampu melawan citra Jokowi si tukang kayu yang merakyat. Buktinya, Prabowo harus bertekuk lutut saat dua kali bertarung dengan Jokowi di kontestasi pemilihan presiden.

Hiburan dan Politik

Dalam sejarah politik Indonesia, sosok pemimpinan tidak cukup mengandalkan kepintaran, gagah, atau tampan, tetapi juga harus memiliki selera tinggi atau minimal unik.

Gampangnya, untuk mencari pemimpin politik seperti itu, diperlukan pendekatan entertaining supaya bisa menemukan tokoh politik yang pas.

Contoh tepat untuk menggambarkan kombinasi antara maskulinitas, intelektualitas dan estetik adalah Presiden Sukarno. Sukarno memiliki kesan entertaining-nya yang kuat. Dia seniman sekaligus penggemar kesenian yang cukup fanatik.

Sukarno terlepas dari ketidaksukannya terhadap dominasi Amerika Serikat dalam politik global, rupanya cukup menggandrungi film-film hollywood.

Kepada penulis Amerika Serikat Cindy Adams, Sukarno bahkan pernah mengungkapkan sangat mengidolakan aktor layar lebar Hollywood sejak indekos di rumah Tjokroaminoto pada awal 1920-an.

Sukarno atau Bung Karno sendiri memang dikenal sebagai tokoh flamboyan. Sukarno identik dengan kacamata hitam, supel ketika, cerutu, bergoyang lenso, kemampuan berorasi yang sangat baik, serta sejumlah keunikan lain.

Hal ini membuktikan bahwa Sukarno memiliki variabel yang sangat kental sebagai seorang tokoh politik bernilai tinggi dan berkelas.

Menariknya, meski memiliki cita rasa seni yang tinggi, Sukarno tetap sosok yang populer. Sukarno adalah representasi rakyat. Wawasannya tentang kehidupan masyarakat sangat dalam.

Sehingga, tak berlebihan jika dibalik selera seninya yang cenderung flamboyan, Sukarno mendapat gelar sebagai penyambung lidah rakyat.

Famous dan idolized. Rasanya, tidak salah pula jika dikatakan Sukarno sangat menyadari hal tersebut, dan melenggang bebas bersama dengan ”karunia”nya itu ke dalam permainan politik berkualitas premium.

Akhir Kompromi Sukarno

Perjalanan politik Sukarno selalu menarik untuk diikuti. Saat muda dia dikenal sebagai tokoh yang tak punya kompromi. Dia berulangkali masuk bui hingga akhirnya menjadi tokoh sentral dalam politik Indonesia pascakolonial.

Namun, di antara rentetan sejarah perjalanan politik Sukarno, momen paling dilematis yang menjadi titik nadir kiprah Bung Besar dalam kancah politik nasional terjadi pada medio dekade 1960an.

Pada akhir September 1965, sekelompok pasukan menculik jendral top Angkatan Darat. Pasukan itu kemudian membunuh dan membuang jasad para jenderal ke Lubang Buaya.

Sejarah resmi pemerintah kemudian mencatat PKI sebagai pelaku tunggal dan menimpakan beban sejarah kepada partai komunis terbesar di luar China dan Uni Soviet tersebut.

Politik nasional memanas. Tekanan politik kepada Sukarno pada waktu itu cukup kuat. Kubu anti-komunis mendesak pemerintah untuk membubarkan PKI. Sukarno terpojok dan mulai kehilangan pamornya. Di sisi lain, pengaruh militer lambat laun semakin kuat dalam politik dan pemerintahan.

Tekanan yang bertubi-tubi pada akhirnya membuat Sukarno menjadi agak kompromis terhadap keinginan militer untuk membubarkan PKI pada penghujung 1965. 

Sejarawan Universitas Sanata Dharma Baskara T Wardaya dalam bukunya berjudul Membongkar Supersemar (2009), menuliskan Sukarno pernah menawarkan alternatif kepada Jenderal Suharto untuk melarang PKI dan membuat partai komunis baru pada akhir 1965.

Baskara menyebutkan rencana ini terungkap dalam telegram dari Kedubes Amerika Serikat di Jakarta untuk Departemen Luar Negeri di Washington pada 17 Januari 1966 yang berjudul "Rencana Demonstrasi Mahasiswa dan Sikap Militer".

Dalam telegram itu diketahui seorang aktivis Masyumi memberitahu Duta Besar AS di Indonesia saat itu, yakni Marshall Green mengenai opsi yang ditawarkan Sukarno ke pihak militer.

"3 minggu yang lalu Sukarno telah menyampaikan tiga alternatif kepada Soeharto berkaitan dengan pelarangan PKI, yakni: (1) PKI dilarang tetapi dibentuk partai Komunis baru setelahnya, (2) PKI tidak dilarang tetapi berada di bawah pengawasan partai-partai lain dalam sebuah front nasional, atau (3) larang semua partai dan bentuk satu saja sebuah front nasional," tulis Baskara dalam bukunya tersebut.

Masih menurut Baskara, Suharto menyampaikan usulan itu kepada Nasution. Namun Nasution menolak alternatif (2) dan (3), tetapi setuju pada alternatif (1)." Dengan pemikiran bahwa pembentukan partai Komunis baru dapat ditunda," tulis Duta Besar AS di Indonesia Marshall Green kepada Departemen Luar Negeri di Washington pada 17 Januari 1966.

Adanya opsi membentuk partai anyar menunjukkan bahwa Sukarno menawarkan jalan kompromi kepada militer. Di satu sisi, dia ingin meredam gejolak politik anti PKI yang cukup kencang pada waktu itu.

Namun di sisi yang lain, Sukarno tidak ingin kekuatan komunis sama sekali hilang dalam wajah perpolitikan Indonesia.

Komunis bagi Sukarno merupakan kekuatan politik yang sangat penting, terutama untuk mendukung kebijakan luar negeri Sukarno yang sangat antiliberal dan neo imperialisme.

Waktu itu dalam bayangan Sukarno, skenario yang mungkin terjadi Uni Soviet, China, dan kekuatan Komunis lainnya akan langsung beradu kekuatan dan bertempur melawan Amerika Serikat dan sekutu kapitalis lainnya di tengah pusaran politik Indonesia.

Pertempuran tersebut akan menghabiskan energi kedua belah pihak, dan kemudian Indonesia, bersama dengan negara Non-Blok lainnya, akan mampu berdiri tegak di puncak kompetisi politik internasional. Dalam posisi itu Sukarno membayangkan Indonesia akan menjadi pemimpin dunia.

"Entah benar entah tidak, entah kita setuju atau tidak, bayangan seperti itu menunjukkan bahwa sebagai seorang presiden, Sukarno adalah seorang sosok pemimpin yang sangat mumpuni tidak hanya di tingkat nasional, melainkan juga di tingkat internasional," kata Baskara kepada Bisnis, Selasa (22/3/2022). 

Namun demikian, peristiwa 1965 mengubah jalan politik Sukarno. Sukarno semakin terpojok dan pada akhirnya harus merelakan kekuasaannya dipreteli oleh rezim militer yang berkuasa. Bung besar, demikian nama lain Sukarno, kemudian meninggal dalam sepi, jauh dari hiruk pikuk dan pekikan merdeka kaum marhaen. Sukarno meninggal dan untuk sekian tahun dilupakan.

Fenomena Sukarno agaknya menjadi catatan ironi dalam sejarah dan perlu dipelajari oleh siapapun calon pemimpin bangsa ini ke depan. Tumbangnya Sukarno menunjukkan bahwa bahwa sosok pemimpin dengan nilai entertaining yang tinggi saja tidak cukup untuk bertahan dari serangan lawan politiknya.

Pemimpin nasional, dalam posisi itu, tidak cukup modal pencitraan, tak cukup hanya dengan modal pamer program atau pandai bicara lalu upload di medsos. Seorang pemimpin harus tegas, tak perlu sering tampil di Medsos, tetapi sikap politiknya jelas, trengginas, dan memiliki visi misi pembangunan negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rahmad Fauzan
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper